Jumat, 22 Mei 2015

Kuroko no Basuke vs Haikyuu : Seirin vs Karasuno Part 4


“Anoo, manager itu…” Tanaka mencoba untuk bertanya pada Izuki. “Kelas berapa?”
“Aki-chan, kah?” timpal Izuki yang melirik Akiya. “Kelas satu. Ada apa?”
“Ahh, tidak…” tukas Tanaka. “Hanya saja dia sangat cantik. Heheheee… iya kan, Noya-san?”
Nishinoya menjawab dengan semangat berkobar-kobar, “Yeah, benar sekali. Sungguh menawan!!”
Izuki berbisik kepada Nishinoya dan Tanaka. “Kalau kalian ingin mendekatinya, sebaiknya menyerahlah dari sekarang. Mungkin dia memang terlihat menyenangkan, tapi dia adalah gadis paling menakutkan yang pernah ada.”
“Apa maksudnya, Izuki-san?” tanya Nishinoya.
“Kau akan mengerti kalau melihatnya sendiri,” tukas Izuki. “Tapi kalian juga memiliki manager yang lumayan.”
“Shimizu Kiyoko dan Yachi Hitoka!” timpal Tanaka.
“Tanaka! Kemari sebentar!” panggil Sawamura.
“Hai’!!” Tanaka langsung menghampiri sang kapten dan Azumane yang sedang berbincang dengan Hyuga dan Kiyoshi.
Di sudut yang lain, “Anoo, Kuroko-san! Bagaimana kau melakukan serve tadi? Aku benar-benar tidak bisa melihat bolanya!” seru Hinata pada Kuroko.
“Aku melakukannya dengan cara biasa,” kata Kuroko. “Spike-mu juga mengagumkan!”
“Tetapi, aku tak menyangka ada pemain voli sependek kau,” kata Kagami pada Hinata yang diikuti tawa tertahan dari Tsukishima.
“Apa kau, Tsukishima?!!!” seru Hinata. “Dari pada aku, Nishinoya-san lebih pendek!”
“Hinata!! Kau ingin dihajar?!!” teriak Nishinoya dari kejauhan.



Berulang kali aku tertawa melihat tingkah lucu teman-teman baruku ini. Mereka pun sebenarnya sangat mirip dengan Seirin. Semangat mereka benar-benar sama.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” ucap Kageyama padaku.
“Tentu saja!”
“Sebenarnya apa yang akan kalian lakukan disini? Sepertinya, tujuan kalian bukanlah berlatih,”
“Memang benar, kami kemari memang tidak untuk berlatih, tapi untuk istirahat dari basket,”
“Lalu kenapa bermain voli?” tanya Kageyama lagi.
“Karena mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan itu menyenangkan,” jawabku. “Dan juga, tim voli Karasuno benar-benar menarik perhatianku.”
Kageyama tampak bingung, tapi sebelum dia sempat bertanya, aku langsung masuk ke dalam penginapan dan menuju kamarku. Sebelum masuk ke dalam kamar, aku melihat dua manager Karasuno sedang bersiap ke pemandian.
“Kau akan ke pemandian juga?” tanya Shimizu-san.
“Hai’,”
“Kalau begitu, kami duluan,”
“Silahkan!”
Aku mengambil handuk, dan perlengkapan mandiku lalu bergegas ke pemandian wanita. Sesampainya disana, aku hanya bersama Shimizu-san dan Yachi-san.
“Boleh aku bergabung?” tanyaku saat memasuki kolam air panas.
“Tentu saja!” jawab Yachi-san. “Rambut merahmu sangat indah, Akashi-san!”
“Terima kasih,” kataku. “Panggil saja Akiya!”
“Aku manager baru, mohon bimbingannya!” seru Yachi-san.
Aku tersenyum, “Aku juga baru beberapa bulan menjadi manager. Sebelumnya, Seirin tak punya manager karna tim ini baru berdiri selama dua tahun dan aku adalah manager pertama. Kalau bicara pengalaman, seharusnya Shimizu-san yang paling tahu.”
“Benar juga. Tolong ceritakan pengalamanmu bersama Karasuno, Shimizu-senpai!” seru Yachi-san.
Wajah Shimizu-san kelihatan memerah, bisa kurasakan bahwa dia sangat mencintai klub ini. Sepertinya, menjadi manager selama tiga tahun membuatnya memiliki banyak kenangan bersama klub ini. Aku pun terkenang beberapa moment menyenangkan yang kulakukan bersama member Seirin selama hampir empat bulan ini. Kami bertiga berbincang tentang hal-hal yang sudah kami lalui sebagai manager. Tak jarang kami saling menertawakan anggota sendiri. Acara berendam kali ini menjadi kegiatan gossip wanita.
Setelah selesai berganti pakaian, aku bergabung dengan yang lain di ruang makan yang luas. Semua sudah berbaur dan saling bercengkrama satu sama lain. Aku menuju ke tempat duduk yang kosong di samping Kuro-senpai dan Sugawara-san.
“Konbanwa!” sapaku.
“Konbanwa!” jawab Sugawara-san.
“Mau kuambilkan sesuatu?” tanya Kuro-senpai.
“Teh,” jawabku.
“Okey!”
Kuro-senpai langsung berdiri untuk mengambilkanku segelas teh, ketika sepiring kare diantarkan padaku oleh pemilik penginapan.
“Terima kasih,” kataku pada bibi pemilik penginapan.
Saat aku melihat sekeliling, baru aku merasakan bahwa ruangan ini sangat ramai. Biasanya, suasana di rumah sangatlah sepi saat makan malam karna aku dan kakakku tak pernah saling bicara saat di rumah. Rasanya, aku ingin malam ini tidak berakhir begitu cepat.
“Apa kami terlalu berisik?” tanya Sugawara-san yang melihatku terdiam.
“Tidak, justru aku merasa bahwa ini menyenangkan,” jawabku.
Kuro-senpai datang sambil membawa segelas teh. “Kau masih tak mau bicara dengan Akashi-kun?”
“Kenapa aku harus bicara dengannya?” tanyaku.
Baru aku akan memakan sesendok kare, ponsel di sakuku bergetar dan saat aku melihat siapa yang menelpon, aku kehilangan nafsu makanku. Kuro-senpai melirik ponselku dan melihat nama ‘Sei-nii’ menghiasi layarnya.
“Kau bisa keluar jika ingin mengangkatnya,” kata Kuro-senpai.
Aku menghela nafas sambil memegangi ponsel yang masih bergetar, kemudian melanjutkan makanku. “Aku tak ingin mengangkatnya.”
Akhirnya, dalam beberapa detik, ponselku berhenti bergetar dan aku kembali memasukkannya ke dalam saku. Kuro-senpai tetap memandangiku dengan khawatir.
“Tenang saja! Aku akan menghubunginya saat sudah kembali ke kamar,” kataku.
Wajah Kuro-senpai berubah tenang dan dia kembali ke makanannya. Aku tahu kalau keluarga tak seharusnya seperti ini, tapi aku dan Sei-nii tumbuh di lingkungan dimana orang-orang hanya menganggap kami sebagai seorang yang jenius. Tak terkecuali aku dan kakakku. Kami menganggap satu sama lain jenius, dan itu menjadi sebuah dinding penghalang bagi kami untuk berkomunikasi. Kakakku selalu tahu apa yang dia lakukan, sehingga dia tak pernah meminta saran dariku. Walaupun begitu, kami selalu sependapat tentang basket. Meskipun aku tak bisa bermain, dia tak pernah meragukan analisaku. Aku mengagumi permainannya, dia mengandalkan analisaku. Bisa dibilang, kami terhubung karna basket.
Namun, saat melihatnya terlalu dekat dengan basket, aku menjadi cemburu. Inilah titik awal aku mulai membenci basket dan kakakku. Tapi, sebenci apapun, Sei-nii tetap kakakku dan basket adalah olahraga yang menyatukan kami.
“Aki-chan!” panggil Kuro-senpai. “Kau tak apa?”
Aku mendongak dan kesadaranku kembali ke ruangan ramai ini. Di barisan sebelah kanan, terlihat Nishinoya-san dan Hinata-kun yang sedang menceritakan pengalaman mereka bermain voli kepada beberapa pemain Seirin. Sedangkan disisi kiri, Koganei-senpai bercerita tentang Kiseki no Sedai karna aku sempat mendengar nama kakakku disebut beberapa kali. Aku tersenyum merasakan suasana hangat yang sangat jarang kudapatkan.
“Aku tak apa,” jawabku lalu lanjut memakan kare di depanku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar