“Anoo, manager
itu…” Tanaka mencoba untuk bertanya pada Izuki. “Kelas berapa?”
“Aki-chan, kah?” timpal
Izuki yang melirik Akiya. “Kelas satu. Ada apa?”
“Ahh, tidak…”
tukas Tanaka. “Hanya saja dia sangat cantik. Heheheee… iya kan, Noya-san?”
Nishinoya
menjawab dengan semangat berkobar-kobar, “Yeah, benar sekali. Sungguh
menawan!!”
Izuki berbisik
kepada Nishinoya dan Tanaka. “Kalau kalian ingin mendekatinya, sebaiknya
menyerahlah dari sekarang. Mungkin dia memang terlihat menyenangkan, tapi dia
adalah gadis paling menakutkan yang pernah ada.”
“Apa maksudnya,
Izuki-san?” tanya Nishinoya.
“Kau akan
mengerti kalau melihatnya sendiri,” tukas Izuki. “Tapi kalian juga memiliki
manager yang lumayan.”
“Shimizu Kiyoko
dan Yachi Hitoka!” timpal Tanaka.
“Tanaka! Kemari
sebentar!” panggil Sawamura.
“Hai’!!” Tanaka
langsung menghampiri sang kapten dan Azumane yang sedang berbincang dengan
Hyuga dan Kiyoshi.
Di sudut yang
lain, “Anoo, Kuroko-san! Bagaimana kau melakukan serve tadi? Aku benar-benar tidak bisa melihat bolanya!” seru
Hinata pada Kuroko.
“Aku melakukannya
dengan cara biasa,” kata Kuroko. “Spike-mu
juga mengagumkan!”
“Tetapi, aku tak
menyangka ada pemain voli sependek kau,” kata Kagami pada Hinata yang diikuti
tawa tertahan dari Tsukishima.
“Apa kau,
Tsukishima?!!!” seru Hinata. “Dari pada aku, Nishinoya-san lebih pendek!”
“Hinata!! Kau
ingin dihajar?!!” teriak Nishinoya dari kejauhan.
Berulang kali aku
tertawa melihat tingkah lucu teman-teman baruku ini. Mereka pun sebenarnya
sangat mirip dengan Seirin. Semangat mereka benar-benar sama.
“Boleh aku
bertanya sesuatu?” ucap Kageyama padaku.
“Tentu saja!”
“Sebenarnya apa
yang akan kalian lakukan disini? Sepertinya, tujuan kalian bukanlah berlatih,”
“Memang benar,
kami kemari memang tidak untuk berlatih, tapi untuk istirahat dari basket,”
“Lalu kenapa
bermain voli?” tanya Kageyama lagi.
“Karena mencoba
sesuatu yang belum pernah dilakukan itu menyenangkan,” jawabku. “Dan juga, tim
voli Karasuno benar-benar menarik perhatianku.”
Kageyama tampak
bingung, tapi sebelum dia sempat bertanya, aku langsung masuk ke dalam
penginapan dan menuju kamarku. Sebelum masuk ke dalam kamar, aku melihat dua
manager Karasuno sedang bersiap ke pemandian.
“Kau akan ke
pemandian juga?” tanya Shimizu-san.
“Hai’,”
“Kalau begitu,
kami duluan,”
“Silahkan!”
Aku mengambil
handuk, dan perlengkapan mandiku lalu bergegas ke pemandian wanita. Sesampainya
disana, aku hanya bersama Shimizu-san dan Yachi-san.
“Boleh aku
bergabung?” tanyaku saat memasuki kolam air panas.
“Tentu saja!”
jawab Yachi-san. “Rambut merahmu sangat indah, Akashi-san!”
“Terima kasih,”
kataku. “Panggil saja Akiya!”
“Aku manager
baru, mohon bimbingannya!” seru Yachi-san.
Aku tersenyum,
“Aku juga baru beberapa bulan menjadi manager. Sebelumnya, Seirin tak punya
manager karna tim ini baru berdiri selama dua tahun dan aku adalah manager pertama.
Kalau bicara pengalaman, seharusnya Shimizu-san yang paling tahu.”
“Benar juga.
Tolong ceritakan pengalamanmu bersama Karasuno, Shimizu-senpai!” seru
Yachi-san.
Wajah Shimizu-san
kelihatan memerah, bisa kurasakan bahwa dia sangat mencintai klub ini.
Sepertinya, menjadi manager selama tiga tahun membuatnya memiliki banyak
kenangan bersama klub ini. Aku pun terkenang beberapa moment menyenangkan yang
kulakukan bersama member Seirin selama hampir empat bulan ini. Kami bertiga
berbincang tentang hal-hal yang sudah kami lalui sebagai manager. Tak jarang
kami saling menertawakan anggota sendiri. Acara berendam kali ini menjadi
kegiatan gossip wanita.
Setelah selesai
berganti pakaian, aku bergabung dengan yang lain di ruang makan yang luas.
Semua sudah berbaur dan saling bercengkrama satu sama lain. Aku menuju ke
tempat duduk yang kosong di samping Kuro-senpai dan Sugawara-san.
“Konbanwa!”
sapaku.
“Konbanwa!” jawab
Sugawara-san.
“Mau kuambilkan
sesuatu?” tanya Kuro-senpai.
“Teh,” jawabku.
“Okey!”
Kuro-senpai
langsung berdiri untuk mengambilkanku segelas teh, ketika sepiring kare
diantarkan padaku oleh pemilik penginapan.
“Terima kasih,”
kataku pada bibi pemilik penginapan.
Saat aku melihat
sekeliling, baru aku merasakan bahwa ruangan ini sangat ramai. Biasanya,
suasana di rumah sangatlah sepi saat makan malam karna aku dan kakakku tak
pernah saling bicara saat di rumah. Rasanya, aku ingin malam ini tidak berakhir
begitu cepat.
“Apa kami terlalu
berisik?” tanya Sugawara-san yang melihatku terdiam.
“Tidak, justru
aku merasa bahwa ini menyenangkan,” jawabku.
Kuro-senpai
datang sambil membawa segelas teh. “Kau masih tak mau bicara dengan
Akashi-kun?”
“Kenapa aku harus
bicara dengannya?” tanyaku.
Baru aku akan
memakan sesendok kare, ponsel di sakuku bergetar dan saat aku melihat siapa
yang menelpon, aku kehilangan nafsu makanku. Kuro-senpai melirik ponselku dan
melihat nama ‘Sei-nii’ menghiasi layarnya.
“Kau bisa keluar
jika ingin mengangkatnya,” kata Kuro-senpai.
Aku menghela
nafas sambil memegangi ponsel yang masih bergetar, kemudian melanjutkan makanku.
“Aku tak ingin mengangkatnya.”
Akhirnya, dalam
beberapa detik, ponselku berhenti bergetar dan aku kembali memasukkannya ke
dalam saku. Kuro-senpai tetap memandangiku dengan khawatir.
“Tenang saja! Aku
akan menghubunginya saat sudah kembali ke kamar,” kataku.
Wajah Kuro-senpai
berubah tenang dan dia kembali ke makanannya. Aku tahu kalau keluarga tak
seharusnya seperti ini, tapi aku dan Sei-nii tumbuh di lingkungan dimana
orang-orang hanya menganggap kami sebagai seorang yang jenius. Tak terkecuali
aku dan kakakku. Kami menganggap satu sama lain jenius, dan itu menjadi sebuah
dinding penghalang bagi kami untuk berkomunikasi. Kakakku selalu tahu apa yang
dia lakukan, sehingga dia tak pernah meminta saran dariku. Walaupun begitu,
kami selalu sependapat tentang basket. Meskipun aku tak bisa bermain, dia tak
pernah meragukan analisaku. Aku mengagumi permainannya, dia mengandalkan
analisaku. Bisa dibilang, kami terhubung karna basket.
Namun, saat
melihatnya terlalu dekat dengan basket, aku menjadi cemburu. Inilah titik awal
aku mulai membenci basket dan kakakku. Tapi, sebenci apapun, Sei-nii tetap
kakakku dan basket adalah olahraga yang menyatukan kami.
“Aki-chan!”
panggil Kuro-senpai. “Kau tak apa?”
Aku mendongak dan
kesadaranku kembali ke ruangan ramai ini. Di barisan sebelah kanan, terlihat
Nishinoya-san dan Hinata-kun yang sedang menceritakan pengalaman mereka bermain
voli kepada beberapa pemain Seirin. Sedangkan disisi kiri, Koganei-senpai
bercerita tentang Kiseki no Sedai karna aku sempat mendengar nama kakakku
disebut beberapa kali. Aku tersenyum merasakan suasana hangat yang sangat
jarang kudapatkan.
“Aku tak apa,”
jawabku lalu lanjut memakan kare di depanku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar