Jumat, 22 Mei 2015

Kuroko no Basuke vs Haikyuu : Seirin vs Karasuno Part 6


Apa yang aku lakukan? Untuk apa aku melakukan itu semua? Apa yang terjadi padaku? Benarkah aku melakukannya karna aku peduli dengan tim ini? Ataukah hanya untuk kesenanganku sendiri? Di samping itu, aku merasakan kepalaku mulai berat, dadaku terasa sakit bahkan aku mulai kesulitan bernafas. Sudah kuduga, aku terlalu banyak melakukan hal yang tak seharusnya kulakukan. Padahal aku hanya memaksa tubuhku sedikit, tapi dampaknya sangat membuatku kesakitan.
Aku berjalan sambil bersandar pada dinding, menyeret kakiku yang terasa berat. Aku lelah, terlalu lelah bahkan untuk membuka mataku. Kamarku masih berada beberapa meter lagi, namun aku sudah tak kuat menggerakkan kaki. Nafasku makin terasa sesak, kepalaku sakit dan pandanganku mulai menghitam. Gawat, aku sudah tak kuat.
“Aki-chan,”
Seseorang menangkapku tepat saat tubuhku terhuyung ke belakang. Walaupun aku tak bisa melihat dengan jelas, tapi aku mengenali suara yang memanggil namaku tadi adalah suara Kuro-senpai. Perlahan, aku kehilangan kesadaran.
Aroma alcohol yang kuat memaksa kesadaranku kembali. Pemaksaan itu membuat kepalaku jauh lebih pusing dari semula. Badanku sangat lemas, bahkan aku tak bisa menggerakkan jari-jariku. Seluruh indraku sudah mulai pulih, jadi aku bisa membuka mataku dan mendengar suara yang ada di sekitarku. Orang yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata adalah Kuro-senpai dengan wajah cemasnya yang selalu dia pasang ketika bersamaku. Tapi di ruangan ini, tak hanya Kuro-senpai tapi semuanya berkumpul disini.
Ketika aku sudah bisa menggerakkan bola mataku, aku dapat melihat dengan jelas wajah-wajah khawatir saat menatapku. Shimizu-san, Sugawara-san, Kagami-senpai, Hyuga-senpai, pelatih Ukai, Tanaka-san, Hinata-kun, Izuki-senpai, Kiyoshi-senpai, Kageyama-kun bahkan Tsukishima juga cemas walaupun tertutup oleh ketakutannya padaku.
Tiba-tiba, sebuah titik air mata menetes dari mata kananku. Aku menutupinya dengan tangan dan dengan tarikan nafas yang dalam, berbulir-bulir air mata jatuh ke sisi kanan dan kiriku. Kutahan setiap isakan dengan menggigit bibirku sendiri. Kuro-senpai langsung menyadari bahwa aku sedang menangis.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya.
Mendengar suara Kuro-senpai membuatku lebih terisak. Air mataku tak mau berhenti, isakanku tak bisa kutahan lagi. Luapan emosiku melebihi yang bisa kubendung, aku marah, aku kecewa, aku cemburu, aku menyesal, aku merasa tak berguna. Semua perasaan itu bercampur dengan kenangan-kenangan yang menyakitkan sehingga menjadi pemicu untukku lebih terisak. Aku menangis, melepaskan semuanya, berharap perasaanku akan membaik setelah ini. Seisi ruangan menjadi sedikit tenang sehingga yang bisa terdengar adalah suara isakanku yang semakin lama semakin keras.
“Ada apa, Akiya?” tanya Kagami-senpai.
Aku tak menjawab sambil terus menangis selama beberapa menit. Mereka pun menjadi lebih khawatir. Yachi-san bahkan ikut meneteskan airmata. Disaat aku berada di puncak emosiku, tiba-tiba muncul banyak kalimat yang ingin kuucapkan.
“Aku ingin melakukannya!” seruku. “Aku ingin berlari, aku ingin melompat, aku ingin menendang bola, aku ingin melakukannya sendiri bukan melihat dari jauh. Kenapa aku dilahirkan dengan tubuh lemah ini? Kenapa aku tak bisa melakukannya dengan tubuh ini? Melihat orang-orang penuh bakat seperti kalian membuatku iri. Iri akan kebebasan kalian, iri akan kekuatan kalian, iri akan kkerja keras kalian, iri akan semua yang bisa kalian lakukan sedangkan aku tak bisa melakukannya. Aku tidak lumpuh, tapi kenapa aku tidak bisa berlari? Kedua tanganku berfungsi dengan baik, tapi kenapa aku tak boleh memukul bola? Aku punya anggota tubuh yang lengkap, tapi kenapa aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas? Nee, beritahu aku! Bagaimana rasanya angin kencang yang menerpa wajah ketika kau berlari? Bagaimana pemandangan dari atas saat kau melompat? Beritahu, tolong ceritakan padaku! Aku ingin… aku ingin… aku ingin melakukan yang kalian lakukan!!”
Akhirnya benar-benar kukeluarkan semua yang ada di pikiranku. Ahh tidak, aku mengatakannya tanpa berpikir dulu. Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya aku kalah dengan emosiku. Kira-kira kenapa aku bisa terlihat sangat menyedihkan seperti ini? Ini tidak seperti diriku biasanya yang mengabaikan rasa cemburuku. Padahal sebenarnya, bukan seperti ini yang kuharapkan. Ini diluar perkiraanku.
Ruangan membisu selama hampir satu menit sampai akhirnya, Kuro-senpai mengatakan sesuatu. “Aku juga iri. Banyak yang harusnya bisa kulakukan, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku ingin bisa melakukan dunk seperti Kagami-kun, menembak tiga angka seperti Hyuga-senpai, melompat tinggi seperti Hinata-kun, dan aku juga iri dengan kemampuan analisamu.”
“Benar!” seru Hinata-kun. “Aku juga ingin bisa me-receive dengan baik seperti Nishinoya-san, melakukan smash ace seperti Asahi-san, dan juga melakukan service ace seperti Kageyama!” Hinata sedikit tersedak saat menyebutkan nama Kageyama.
“Aku ingin selincah Nishinoya,” kata Hyuga-senpai.
“Aku juga ingin bisa melompat tinggi!” seru Nishinoya-san.
“Akiya-san, aku ingin sepertimu! Menjadi manager yang bisa mengatur tim dengan baik!” pekik Yachi-san dengan wajah memerah karena malu.
Ruangan menjadi sangat berisik dengan seruan-seruan ambisi yang beraneka ragam. Sebenarnya, kecemburuanku tidaklah senaif kata-kata mereka. Ingin melompat, ingin melakukan dunk, ingin melakukan smash, ingin menjadi ace. Itu bukan sesuatu yang sulit saat kau bisa menggunakan tubuhmu dengan bebas tanpa harus khawatir akan pingsan atau tersiksa karna sesak nafas. Aku sudah muak dengan tabung oksigen, jarum suntik, obat dan kursi roda. Aku tak ingin menyentuh mereka lagi.
Saat melihat kakakku kalah dari Kuro-senpai, aku tak bisa menahan diriku untuk kembali ke Jepang. Kukira, aku bisa memperbaiki hubungan kami. Tapi ternyata, kembali kesini membuatku makin cemburu dengan orang-orang ini. Meskipun kakakku berubah dan tak keras kepala seperti dulu, namun dia jadi lebih mencintai basketnya. Dan aku benci saat tak bisa menyukai sesuatu yang membuat kakakku senang. Semua orang yang ada disini, mereka mencintai sesuatu yang tak bisa kusukai.
Setelah tangisanku berhenti dan aku kembali tenang, aku membuka mata. Kemudian menegakkan tubuhku, memandang sekeliling. Ruangan ini jadi seramai ruang makan tadi. Jam dinding menunjukkan pukul 22.34 yang artinya aku sudah pingsan selama hampir tiga jam. Kuro-senpai memandangku lalu tersenyum.
“Mau kuambilkan sesuatu?” tanyanya.
Aku menggeleng. Meskipun perasaanku belum membaik, tapi aku menghargai usaha mereka untuk menghiburku, jadi aku membalas senyum Kuro-senpai dan memerhatikan mereka satu persatu. “Terima kasih,” gumamku.
“Ano yo, Akiya! Sebenarnya, menangis tak cocok untukmu,” kata Kagami-senpai. “I-itu karna kau adiknya si Akashi dan kau sangat mirip jadi aku tak bisa menahan untuk tak membayangkan kalau yang menangis adalah Akashi.”
Tawaku tersedak dan aku menutupi bibirku dengan tangan agar tak terdengar keras. “Apa-apaan itu?!”
“Kagami-kun, menurutku ada yang salah dengan kepalamu,” timpal Kuro-senpai.
Keadaan menjadi lebih hangat dan akhirnya aku bisa ngobrol seperti biasa. Yahh, walaupun Tsukishima-kun masih terlihat takut denganku tapi dia sudah bisa bicara di depanku. Sepertinya, dia juga khawatir saat aku pingsan tadi. Hampir tengah malam dan aku memutuskan untuk kembali ke kamar.
“Aku akan mengantarmu,” kata Kuro-senpai.
Kami berdua keluar dari ruangan itu dan berjalan di koridor yang gelap. Suara-suara dari ruangan yang kami tinggalkan masih bisa terdengar. Beberapa bunyi derak kayu terkadang terdengar di sela-sela langkah kami di atas lantai kayu yang licin. Setelah dirasa cukup tenang, Kuro-senpai memulai pembicaraan.
“Kenapa kau menyuruh kami melakukan perjalanan ini?” tanya Kuro-senpai.
Kami berbelok ke arah balkon. “Tidak ada alasan khusus. Tapi kalau senpai bertanya apa aku punya rencana disini, jawabannya ada.”
Kuro-senpai menatapku bingung.
“Dari awal aku sudah tahu kalau Klub Voli Karasuno akan menginap disini. Mereka adalah tim voli yang unik, terlebih lagi tim ini sangat mirip dengan Seirin tahun lalu.”
“Kageyama dan Hinata?”
Aku tertawa. “Benar! Tak hanya duo anak kelas satu, tapi juga kapten yang mengerikan saat marah, Hyuga-senpai dan Sawamura-san, penyongkong tim yang sangat berbakat, Nishinoya-san dan Kiyoshi-senpai dan juga penyegar suasana, Izuki-senpai dan Sugawara-san.”
Kuro-senpai tertawa dalam senyumannya. “Bagaimana kau tahu tentang mereka?”
“Aku tak harus memberitahukan caraku mendapatkan data, kan? Cukup tahu saja kalau aku bisa mendapatkan informasi yang bahkan tidak mungkin didapatkan seorang presiden tentang apapun di dunia ini,”
“Kau cukup sombong untuk orang yang meneriakkan kecemburuannya dengan lantang,” ucap Kuro-senpai dan kami berdua tertawa bersama. “Kami memutuskan untuk bertanding sesuai taruhan yang kau ajukan.”
“Baguslah! Jadi aku tak perlu memaksa kalian lagi,” tukasku.
“Rencanamu berjalan lancar?”
“Ini bahkan belum masuk ke dalam rencana. Tapi, yahh, dengan begini, bisa dibilang rencana akan berjalan baik. Meskipun tadi ada sedikit kesalahan,” jawabku.
“Kesalahan?”
Aku mengambil nafas panjang, bermaksud untuk menjelaskan. “Aku dan kakakku memiliki kemampuan untuk mengintimidasi orang, bahkan kakakku sudah mengembangkan kemampuan itu dan akhirnya mendapatkan Emperor Eye. Mengintimidasi orang bukanlah kemampuan yang bisa dilakukan seenaknya karna untuk menggunakannya membutuhkan energi yang cukup banyak. Kakakku banyak menggunakannya dalam pertandingan, tapi itu hanya sebagian kecil dari apa yang bisa dia lakukan. Keefektifannya pun hanya bersifat sementara dan tertuju pada orang tertentu karna dia tak bisa mengintimidasi seluruh orang di dalam lapangan.”
“Dan kau menggunakannya untuk menantang Karasuno?” tanya Kuro-senpai.
“Benar! Karna cara itu lebih efektif daripada harus menjelaskannya pelan-pelan. Berbeda dengan kakakku, aku bisa mengintimidasi orang dengan energi yang lebih sedikit dan skala yang lebih besar. Tapi, terjadi sesuatu yang diluar kendaliku. Tsukishima-kun tidak memperhatikanku dari awal, sehingga dia tidak terintimidasi. Makanya, aku membuatnya memperhatikanku, tapi jadinya aku malah mengeluarkan terlalu banyak energi. Rasanya sama saat aku pingsan setelah bertanding melawan Kiseki no Sedai,”
“Apa ini juga hipnotis?”
“Bukan, ini bukan hipnotis,” jawabku. “Bisa dikatakan, ini lebih sederhana daripada hipnotis. Kenapa waktu itu aku menggunakan hipnotis? Karna jelas aku tidak bisa mengintimidasi kakakku.”
Tiba-tiba, Kuro-senpai mengusap kepalaku. “Jangan suka bertindak ceroboh seperti tadi! Kau membuatku khawatir.” Dia memandangku dengan mata birunya yang gelap di bawah hening malam dan cahaya bulan yang redup.
Melihatnya membuat wajahku panas dan mungkin sudah terlihat memerah. Tapi aku menikmati setiap dentuman jantung yang seakan hampir melompat dan meledak tepat di depan wajahku. Perlahan bibirku membentuk sebuah lengkungan senyum yang sudah lama tidak kulakukan. Aku membiarkan diriku merasa hidup tidak hanya dari detak jantung yang sudah merajalela, tapi juga pipiku yang memanas, tubuhku yang terasa hangat dan desah nafas yang bisa kudengar di sela-sela hembusan angin yang menyibakkan rambut merah panjangku.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar