Kamis, 19 Maret 2015

Kuroko no Basuke : Generation of Miracles's Promise Part 5 END



Mataku terasa berat, badanku mati rasa, dan juga kepalaku terus saja berdenyut. Nafasku mulai teratur dan aliran darahku sepertinya mulai bekerja dengan baik tapi, aku tetap tak bisa membuka mata atau menggerakkan anggota tubuhku. Aku mencium bau khas ruang perawatan dan kibasan angin ringan yang menyusup masuk dari jendela di samping kakiku. Dalam keadaan seperti ini, aku masih bisa merasakan dan mendengar percakapan dua orang yang kukenali sebagai kakakku dan Kuro-senpai.
“Akashi-kun, aku tak mengijinkanmu membawa Aki-chan,” kata Kuroko.
“Aku bahkan belum mengatakan apapun,” timpal Akashi. “Tetsuya, sepertinya kau masih sangat ingat tentang janji kita.”
Janji? Kuro-senpai dan kakakku berjanji? Tentang apa? Aku? Apa yang mereka bicarakan?
“Tentu saja, untuk itulah aku sampai pada titik ini. Mengalahkan kalian dan berdiri menjadi nomor satu di Jepang,”
“Dari awal kau memang punya potensi untuk melakukannya. Aku suka gaya bermainmu,” ucap kakakku.
Aku ingin melihat mereka berdua tapi mataku sama sekali tak bisa dibuka. Mungkin otot-ototku belumlah bekerja seperti semula. Membicarakan hal itu disini, apa mereka tak peduli kalau aku mendengarnya? Atau mereka memang berharap aku mendengarnya? Sial! Kenapa badanku tak bisa digerakkan di saat seperti ini?!!
“Aku tak akan membawa Akiya kemana pun,” kata Nii-chan. “Dari awal aku memang tak bisa mencegahnya untuk pergi kemana pun.”
Kuro-senpai terdiam, tak membalas kata-kata kakakku. Dia sedang mengamati dan mengantisipasi apa yang akan dikatakan selajutnya.
“Aku sudah tahu kalau pada akhirnya, dia akan memilihmu,” kata kakakku. “Dengan atau tanpa perjanjian itu, kau yang akan mendapatkannya.”
“Jangan membuatnya terdengar seperti barang, Akashi-kun!!”
“Itu lah kenapa dia sangat menyukaimu,” kata Sei-nii sambil tertawa.
Aku merasakan seluruh darahku naik ke wajah, dan pipiku memanas. Kenapa Nii-chanku yang bodoh itu mengatakan hal memalukan seperti itu?!! Tak bisakah dia memahami sedikit saja, situasi yang tidak pas ini?!! Dia sengaja, dia pasti sengaja!!! Aku tak tahan lagi, aku ingin membuka mataku dan berteriak dengan keras ke telinganyaaa!!!
“Lalu kenapa kau membuat perjanjian seperti itu, Akashi-kun?” tanya Kuro-senpai.
“Karna itu menyenangkan,” jawab kakakku. “Bukankah kau juga menikmatinya, Tetsuya? Kurasa, yang lain pun juga menikmati pertandingan masing-masing. Dengan begini, kemampuan kita naik ke level yang lebih tinggi.”
Benar-benar kakak yang jahat! Beraninya dia menggunakanku untuk mendapatkan kesenangan! Dan dia sama sekali tak merasa bersalah. Ahh, menyebalkan!!
“Kurasa itu bukan tindakan yang bagus, Akashi-kun,” tukas Kuro-senpai. “Aku yakin Aki-chan takkan senang mendengarnya.”
Nah, begitu Kuro-senpai! Teruslah membelaku!
“Tapi dia senang kau mengatakan hal itu,” timpal Nii-chan. “Benar, kan Akiya?!”
Hehh? Kenapa dia bertanya padaku? Ahaa, karna asyik mendengarkan mereka, aku tak sadar kalau tubuhku sudah bisa digerakkan. Mataku kubuka perlahan, setelah menyesuaikan pandangan aku duduk di tempat tidur. Menatap dua manusia yang sedang memperhatikanku. Aku kembali merasakan wajahku memanas dan jantungku berdegub kencang. “Berisik!”
“Selamat pagi, Aki-chan!” sapa Kuro-senpai.
Aku hanya mengangguk tak berani menatapnya.
“Menguping itu tidak baik,” kata kakakku.
“Siapa yang menguping? Jelas kalian bicara di depanku, wajar aku mendengarnya,” protesku. “Dan lagi, enak saja kau menggunakanku untuk taruhan kalian.”
Kuro-senpai hanya tersenyum, sedangkan kakakku sudah berdiri.
“Karna kau sudah bisa bicara dengan keras, kau harus ikut aku,” kata kakakku. “Kau masih berhutang penjelasan.”
Kakak macam apa dia?! Adiknya baru saja sadar dan dia sudah memaksa untuk melakukan sesuatu yang melelahkan seperti itu? Moo, benar-benar menjengkelkan. Tapi kemudian, Sei-nii berjalan mendekat dan berdiri membelakangiku, merendahkan punggungnya dan memberi isyarat untuk naik. Aku cukup terkejut dengan aksinya kali ini, walaupun bukan pertama kali dia menggendongku tapi situasi kali ini membuatnya lebih terlihat seperti seorang kakak. Dia membawaku, menggendongku kembali ke lapangan basket serta Kuro-senpai yang mengikuti kami di belakang.
“Ahh, itu mereka!” seru Momo-senpai saat kami melewati pintu. “Aki-chyan!!”
Aku melihat Kiseki no Sedai ada di sana bersama Kagami-senpai dan anggota tim Seirin yang lain.
“Kuroko, kurang ajar!!” desah Kagami-senpai saat kami mendekat. “Aku sungguh akan meninjumu kali ini!!”
“Tolong, jangan lakukan itu! Tinjumu pasti sangat sakit,” timpal Kuro-senpai polos.
“SIAPA YANG PEDULI?!!” bentak Kagami-senpai. “Kau yang menyuruhku pergi dari sana sedangkan kau sendiri kembali kesana! Apa kau mau mempermainkanku?!”
Kagami-senpai sudah mencengkram kepala Kuro-senpai. “Itu sakit, Kagami-kun.”
Tadinya aku sempat khawatir dengan mereka tapi setelah melihat ekspresi Kuro-senpai yang tak berubah dan masih datar, aku tak melakukan apapun selain menahan tawa dan menyembunyikan wajahku di balik punggung Sei-nii.
“Lalu, apa yang akan aku lakukan disana kalau aku tak menyuruhmu pergi?” tanya Kuro-senpai.
Kagami-senpai melepas cengkramannya, “Itu…”
Melihat mereka berdua benar-benar membuatku tak bisa menahan tawa. Akhirnya, tawaku sedikit tumpah tapi tak terlalu terdengar karna aku masih berusaha menahannya. Mungkin, hanya Sei-nii yang mendengarnya.
Selagi mereka berdua sedang bertengkar dengan lucu, yang lain mendekat dengan wajah khawatir mereka. “Maaf, telah membuat kalian semua khawatir,” kataku di balik punggung Nii-chan.
“Karna kau sudah bisa tertawa, sebaiknya kau turun,” kata kakakku yang menurunkan badannya.
“Akicchi, kau tak apa?!” pekik Kise-senpai. “Wajahmu tadi benar-benar sangat pucat.”
“Tak apa, hanya kecapek’an saja,” timpalku sambil terkekeh.
Setelah aku mengatakannya, Sei-nii menoleh padaku dengan tatapan tak percaya.
Seolah tahu apa yang dia pikirkan, aku menjawab dengan sewot, “Aku tidak bohong!”
“Tapi, kenapa sekarang kau terlihat lebih sehat?” tanya Riko-senpai. “Wajahmu bahkan tak terlihat pucat.”
Mendengar Riko-senpai, wajahku kembali memerah karna ingat kata-kata Kuro-senpai yang membuatku sangat malu. Ahh, aku tak ingin mengingatnya lagi.
“Kalau kau mau tetap disini, katakan yang sebenarnya!” kata Sei-nii.
Aku memandanginya sebentar, lalu menghela nafas. “Baiklah, aku mengerti,” jawabku. “Aku memiliki penyakit jantung, jadi aku tak boleh terlalu lelah dan tak bisa melakukan hal-hal berat. Makanya aku menghindari kegiatan klub yang terlalu berlebihan. Sebenarnya, aku dilarang melakukan pertandingan seperti tadi, tapi melihat kalian semua disini aku jadi tak bisa menahan diriku.”
“Seharusnya kau tak bertanding five-on-one dengan mereka,” kata Momo-senpai. “Itu berbahaya.”
“Aku tahu, tapi aku menikmatinya,” kataku. “Lain kali, aku takkan melakukannya lagi.”
“Syukurlah kau tak apa, Aki-chin,” tukas Mura-senpai.
“Dasar, kau membuat kami ketakutan, Akiya,” timpal Mido-senpai.
“Tapi, Akakshi!” panggil Ao-senpai. “Baru kali ini aku melihatmu terkejut. Bahkan sangat berbeda saat Seirin mengalahkanmu.”
“Diam, Daiki!” sela kakakku.
Apa-apaan? Ternyata dia mengkhawatirkanku. Maa, sejak awal dia memang kakakku. Jadi, mau bagaimana pun keadaannya, tidak akan mengubah hubungan kami.
“Akiya, bukankah sudah saatnya kau memberitahu kami tentang pertandingan tadi?” tanya Mido-senpai.
Aku menatap mereka satu persatu. Sei-nii, Kuro-senpai, Kagami-senpai, Riko-senpai, Hyuga-senpai, Kise-senpai, Mura-senpai, Momo-senpai, Ao-senpai dan Mido-senpai benar-benar penasaran dengan pertandingan tadi. Aku menghela nafas sebelum diskusi dilakukan.
“Hmm, apa kalian sudah membuat beberapa teori?”
“Tidak, tapi kami mengumpulkan beberapa fakta,” jawab Hyuga-senpai. “Pertama, kami mengira kalau menggunakan Vinishing Drive yang sama dengan Kuroko, tapi setelah menganalisa lebih lanjut, kurasa teknik itu mustahil dilakukan.”
“Kau tidak mengalihkan pandangan kami. Singkatnya, yang kau lakukan sama sekali berbeda dengan Kuroko,” tambah Mido-senpai.
“Kedua, kau berhenti dua kali. Di depan Midocchi dan di depanku,” kata Kise-senpai. “Setelah itu kau melewati Aominecchi, Murasakibaracchi dan Akashicchi disaat yang bersamaan.”
“Kali ini, faktanya kami membiarkanmu lewat dengan alasan tak bisa bergerak. Itu bukan sebuah ilusi ataupun kecepatan semata, karna walaupun aku tak bisa melihatmu dengan jelas, Midorima melihatmu,”  kata Ao-senpai menjelaskan.
“Jika dilihat dari luar lapangan, tidak terlihat seperti penghentian waktu, teleportasi atau semacamnya. Jeda waktu saat kau berhenti di depan Midorima-kun dan Kise-kun terlihat jelas,” timpal Riko-senpai.
“Aku hanya tahu kalau kau berhenti di depan Midorima lebih lama dari pada di depan Kise,” tambah Kagami-senpai. “Entah dengan alasan apa, tapi itu pasti berhubungan dengan persiapanmu.”
“Kuro-senpai dan Onii-chan tak mau mengatakan apa-apa?” tanyaku.
“Pendapatku sudah dikatakan semua,”  jawab Kuro-senpai.
“Mungkin fakta tak bisa bergeraknya kami adalah karena ucapanmu tadi. Kau tak menunjukkan bahwa kau bergerak,” kata Sei-nii.
“Yupz, benar sekali!” kataku. “Aku memang tak menunjukkan tanda-tanda bahwa aku akan bergerak.”
“Lalu bagaimana kau melakukannya?” tanya Kuro-senpai.
“Hipnotis!” jawabku.
Semua orang tercengang.
“Kenapa kalian seterkejut itu?”
“Bu-bukan begitu, hanya saja…” Hyuga-senpai tergagap.
“Itu bukan keahlian yang umum dimiliki orang, Akicchi,” tambah Kise-senpai.
“Tapi, itu bukan teknik yang mustahil dikuasai,” kataku.
“Lalu, sejak kapan kau menghipnotis kami?” tanya Mido-senpai.
“Aku menghipnotis Mido-senpai saat aku berhenti di depannya. Tidak mudah melakukannya saat seseorang mengenakan kacamata, tadinya aku berpikir untuk berhenti setelah memprediksi Mido-senpai berada di baris paling depan. Tapi, setelah meyakinkan diriku sendiri, aku bisa melakukannya walaupun pada akhirnya hanya bisa membuat Mido-senpai tak bergerak. Dan aku membuat yang lain tak bisa bergerak sekaligus melihat. Itulah mengapa hanya Mido-senpai yang bisa melihatku berlari melewatinya. Lalu, aku berhenti lagi di depan Kise-senpai untuk membuat mereka tak bisa melihatku, waktu yang kubutuhkan jadi lebih sedikit dari yang pertama.”
“Apa yang kau perintahkan pada alam bawah sadar kami? Maksudku, apa sugestimu… anoo, etoo… maksudku…” Kise-senpai bingung dengan pertanyaannya.
“Hanya menginstruksikan otak untuk berhenti bertindak dan memaksa indra penglihatan untuk berhenti bekerja. Kasus berbeda dengan Mido-senpai yang memakai kacamata, perintah untuk tidak melihat tak bisa tercapai, hasilnya dia masih bisa melihat tapi badannya tak bisa bergerak.”
“Begitu ya, hmm…” kata Riko-senpai.
“Akashi, kau sudah tahu tentang ini?” tanya Mido-senpai.
“Tidak, aku sama sekali tak tahu dengan teknik ini,” jawab Nii-chan.
“Lalu, apa yang membuatmu marah?” tanya Mido-senpai lagi.
“Aku tak harus mengatakan alasannya padamu,” jawab kakakku.
Ara?! Jangan-jangan…?! Hihiiii, ternyata dia memang kakakku.
“Aki-chan, aku ingin bertanya sekali lagi,” kata Kuro-senpai. “Apa kau mau bergabung dengan tim basket Seirin?”
Aku menimbang pertanyaan itu dengan pemikiran rumit. Perlahan menatap kakakku dan dia menunjukkan ekspresi yang mengejutkan. Dia sangat tenang, tidak marah dan mengisyaratkan untuk setuju.
“Tak ada pilihan lain,” kataku sambil tersenyum. “Toh, basket juga tak begitu buruk.”
“Selamat datang, di tim basket Seirin,” kata Riko-senpai.
“Nona manager,” tambah Hyuga-senpai.

***

Kejuaraan Interhigh, pertandingan semifinal Blok B, Seirin vs Seiho, waktu tersisa 4 menit dengan skor 79 – 80, time out dari tim Seirin.
“Gawat, pertahanan mereka lebih kuat dari pada tahun lalu,” kata sang kapten sambil menyeka keringatnya dengan handuk. “Ini akan menjadi sebuah masalah.”
“Tak kusangka mereka akan berusaha mati-matian membalas kekalahannya tahun lalu,” tambah Izuki-senpai.
“Kita juga harus mati-matian mempertahankan kemenangan,” timpal Kiyoshi-senpai. “Waktu kita hanya empat menit, apapun yang terjadi kita harus membalikkan keadaan dan memenangkan pertandingan.”
“Tentu saja, tapi menghadapi tim yang keras kepala itu menjengkelkan. Kurasa aku mengerti perasaan Aomine,” kata Kagami-senpai. “Si botak itu sangat merepotkan.”
“Ada apa, Aki-chan?” tanya Kuro-senpai padaku. “Kau sama sekali tak bersuara sejak pertandingan dimulai.”
“Senpai-tachi, dengarkan aku!” tukasku. “Jika dilihat, stamina yang tersisa pada mereka lebih banyak daripada tim kita. Hindari permainan cepat dan menguras tenaga, sebaliknya bermainlah dengan santai dan akurat. Gunakan fake dan tunjukkan bahwa kalian sama sekali tak tegang.”
“Kau yakin dengan yang kau katakan?” tanya Hyuga-senpai.
“Dan satu lagi, Kagami-senpai, aku ingin kau hanya berdiri di bawah ring dan melakukan defense,”
“Apa?!” seru Kagami-senpai. “Kenapa…”
“Ayo, Kagami-kun!” sela Kuro-senpai.



“Oee, kau serius mau menurutinya?” tanya Kagami.
“Tak ada alasan untuk tak percaya,” jawab Kuroko. “Ekspresinya berubah. Aki-chan sangat serius dengan yang dikatakannya.”



“Apa-apaan dengan formasi Seirin?!” pekik Kise yang sedang menonton pertandingan bersama Midorima dan Momoi. “Kagamicchi berada di bawah ring?!”
“Mungkin ini adalah formasi yang direncanakan Akiya,” kata Midorima.
“Tapi, bukankah itu akan merugikan Seirin?” tanya Momoi. “Mereka masih tertinggal dan malah menyuruh Kagami-kun defense, bukankah seharusnya mereka melakukan offense untuk membalik keadaan?”
“Aku tak tahu apa yang sedang dia rencanakan, tapi yang jelas Seirin akan menang telak hari ini,” kata Midorima.



“Nee, Akiya-chan,” panggil Riko-senpai. “Kenapa kau menyuruh mereka melakukan itu?”
“Kedudukan Seiho lebih unggul dan waktu tinggal sedikit. Itu akan memaksa seluruh pemain untuk melakukan apa saja dan terkadang, otak mereka tak merespon emosi dengan baik. Mereka akan mempertahankan poin dan meningkatkan defense mereka agar Seirin tak menambah angka. Aku yakin, mereka percaya bahwa Seirin akan menyerang habis-habisan. Oleh karena itu, mereka akan meningkatkan pertahanan mereka. Lalu, apa yang terjadi jika ternyata Seirin tak melakukan offense habis-habisan?”
“Mereka akan kebingungan?”
“Tepatnya, pendirian mereka akan goyah. Seiho takkan bisa memikirkan strategi untuk menghadapi musuh yang tak seperti bayangan mereka. Akibatnya, serangan mereka akan berantakan dan pertahanan mereka tak kokoh,”
“Lalu, kenapa kau menyuruh Kagami berada di bawah ring?”
“Selain untuk meyakinkan musuh bahwa kita tak melakukan penyerangan, dengan adanya Kagami-senpai di bawah ring, pertahanan kita bertambah kuat. Itu akan lebih membingungkan pemain Seiho. Kita akan memanfaatkan waktu yang sedikit ini untuk membalik keadaan dan membuat kemenangan. Aku percaya, pemain Seirin adalah pemain yang hebat dalam menyerang walaupun tanpa Kagami-senpai.”
Penyerangan Seirin sukses dan berhasil membalik keadaan menjadi 92 – 80. Seluruh fake yang dilakukan, tembakan yang dilancarkan, dan strategi yang diterapkan berhasil dengan sempurna. Dengan kebingungannya, Seiho melakukan banyak kesalahan yang membuat koordinasi dan keseimbangan mereka jatuh. Meskipun begitu, mereka menolak untuk berhenti berusaha. Benar-benar pertandingan yang menarik. Lawan berikutnya adalah, Yosen dan Mura-senpai.
“Yoo, kerja bagus!” seru Kise-senpai saat tim Seirin berjalan keluar gedung. “Pertandingan yang menarik.”
“Otsukaree!!” pekik Momo-senpai
“Lawan kalian berikutnya, Yosen,” kata Mido-senpai. “Murasakibara juga akan membalas kekalahannya tahun lalu.”
“Kise-kun, Midorima-kun, Momoi-san,” sapa Kuro-senpai. “Kami takkan kalah.”
“Tentu saja, sekarang kami punya manager yang hebat,” kata Kagami-senpai sambil menepuk kepalaku.
“Kau bilang tak percaya padanya, Kagami-kun,” kata Kuroko.
“I-itu…”
“Aku akan berusaha,” kataku.
“Ini akan jadi masalah kalau Akicchi membantu mereka,” tukas Kise-senpai. “Apa-apaan poin tadi, 13 angka dalam 4 menit!!”
“Entah kenapa pertandingan menjadi lebih mudah dan menyenangkan,” kata Kagami-senpai.
“Aku janji akan menunjukkan yang lebih menyenangkan dan menarik di pertandingan selanjutnya,” kataku mengakhiri pertemuan kami dan kembali ke tim untuk perjalanan pulang.

END.

Kuroko no Basuke : Generation of Miracles's Promise Part 4



Tatapan tajam kakakku benar-benar menusuk seluruh tubuhku. “Basket,” jawabku dengan tenang.
Semakin terlihat jelas kalau dia memang sedang marah, tapi dia bukan marah padaku, tapi lebih pada dirinya sendiri. “Kenapa aku tak bisa bergerak?!”
“A-akashi-kun,” panggil Momo-senpai berniat melerai.
“DIAM!” teriak Nii-chan. “Dia harus menjelaskannya!”
Seluruh orang yang ada di sana semuanya terdiam. Kakakku benar-benar mengerikan saat marah. Dia berdiri di depanku tanpa sekali pun mengedipkan matanya. Tangannya mengepal dengan kuat, giginya bergemeretak dan detak jantungnya terdengar sangat keras. Ini pertama kalinya aku menyadari bahwa kakakku adalah orang yang sangat menakutkan.
Tapi, melihatnya sampai seperti itu malah membuatku senang. Entah kenapa, aku ingin lebih menjahilinya dan membuatnya lebih marah. Kalau dipikir, mungkin aku lebih menakutkan dari pada kakakku. Dengan tenang aku menjawab, “Karna kau tak melihatku bergerak.”
“APA?!” desah kakakku.
“Secara naluri, manusia akan bergerak karna melihat lawannya akan atau sudah bergerak. Tapi karna kalian tak melihatku bergerak, kalian pun tak melakukan apa-apa,” jelasku.
Sei-nii menjadi lebih marah. “Lalu, kenapa aku tak bisa melihatnya?”
“Karna aku tak menunjukkannya,” jawabku singkat.
Diam sejenak, kakakku mengatur nafasnya dan dia kembali tenang dalam beberapa detik. Dia melangkahkan kakinya mendekat padaku. Selangkah demi selangkah dan akhirnya, dia berada satu meter di depanku. Tatapannya yang masih menakutkan sejak tadi tak terlepas dariku. Aku takut kalau dia akan memukul atau melakukan kekerasan pada dirinya sendiri di depanku. Dia marah, dia ingin balas dendam pada dirinya sendiri sekaligus menghukumku karna mempermalukannya. Dia sangat tahu aku benci saat melihatnya menyakiti dirinya sendiri.



Akashi berada dua langkah di depan Akiya. Semua orang tak ada yang berani bersuara atau bergerak dari tempat mereka. Namun, seketika itu juga, Kuroko sudah berdiri di depan Akashi dan menghalanginya melangkah lebih jauh.
“Hentikan, Akashi-kun!” kata Kuroko.
“Minggir kau!!” kata Akashi lirih. “Aku harus menunjukkan padanya, apa yang kurasakan sekarang.”
“Tidak boleh!” bentak Kuroko tegas. “Dia sudah mencapai batasnya, biarkan dia istirahat untuk sementara.”
Setelah Kuroko menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba...
“KUROKO!!” teriak semua orang yang ada disana bersamaan dengan jatuhnya badan Akiya yang langsung ditangkap Kuroko. Akiya pingsan dengan banyak keringat dan wajah pucat. Akashi masih berdiri terpaku melihat adiknya terbaring lemas di pangkuan Kuroko, di depan matanya.
“Hei para cowok! Kenapa diam saja?!” seru Riko sambil menjitaki kepala anggota basket Seirin yang semuanya sudah berkumpul disana. “Bawa dia ke UKS, bodoh!!”
“Kami ingin melakukannya, tapi...” jawab Hyuga sambil melirik Akashi.
Perlahan, Midorima, Kise, Aomine dan Murasakibara mendekat pada Akashi sambil memandangi Akiya.
“Akashicchi...” panggil Kise lirih.
“Aku yang akan membawanya,” kata Akashi sambil berlutut untuk mengangkat dan menggendong Akiya.
Kuroko mengikuti di sampingnya untuk menunjukkan jalan ke ruang UKS. Member Kiseki no Sedai juga berjalan di belakangnya. Kemudian, anggota tim basket Seirin menyuruh seluruh anak kembali dan membubarkan kerumunan.
“Riko, ada apa?” tanya Kiyoshi yang melihat Riko sangat gelisah.
“Nee, apa kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pertandingan tadi?” tanya sang pelatih.
“Itu seperti kekuatan sihir,” jawab Izuki.
“Tak ada hal seperti itu di dunia ini!” bentak sang kapten. “Tapi, itu memang sesuatu yang sangat mustahil dilakukan. Gadis itu hanya berlari menembus tembok yang sama sekali tak menghalanginya. Mereka tak bisa bergerak.”
“Kalian dengar apa yang dia katakan?” tanya Kiyoshi. “Dia bilang kalau dia tak menunjukkan kalau dia bergerak. Apa maksudnya itu?”
“Memang benar, secara naluri manusia hanya akan bergerak karna melihat lawan mereka bergerak. Otak akan merespon apa yang pertama kali mereka lihat karna indera pertama yang menangkap rangsangan paling cepat adalah mata,” jelas Riko.
“Tapi, mata iblis Akashi bisa melihat sepuluh detik lebih cepat. Bagaimana bisa dia tak melihatnya?” tanya Izuki.
Riko kelihatan gusar. “Aku sendiri juga tak tahu.”
“Tapi ngomong-ngomong, kemana Kagami?” tanya Hyuga.
“Dia mengikuti Kuroko mengantar Akiya-chan ke UKS,” jawab Koganei.
“Bocah itu, apa yang dia pikirkan? Kenapa dia ikut-ikut reuni aneh Kiseki no Sedai?!” seru sang kapten.



Di koridor gedung sekolah, jalan menuju UKS. Sepanjang jalan dipenuhi wajah-wajah penasaran dengan kedatangan orang-orang dari lima sekolah elit yaitu Rakuzan, Yosen, Touou, Shuutoku dan Kaijou. Dan salah satu dari mereka, yang memiliki wajah paling menakutkan sedang menggendong anak kelas satu dengan nilai ujian masuk terbaik, seorang gadis dengan rambut merah panjang tergerai.
Bisik-bisik terjadi di antara mereka. “Nee, mereka siapa?”, “Apa yang terjadi?”, “Bukankah mereka pemain basket, aku melihat mereka di majalah sport.”, “Itu si gadis jenius, wajahnya pucat sekali.”, “Apa yang mereka lakukan padanya?” atau sesuatu seperti, “Hei hei, mereka keren sekali!”, “Bukankah itu Kise Ryota?”, “Tinggi sekali cowok itu!”, “Cowok yang membawa boneka beruang itu, bukankah dia keren?!”
UKS berada di ujung koridor itu. Kuroko berlari mendahului dan membukakan pintu serta memanggilkan suster perawat. “Sensei!!” pekik Kuroko.
Akashi masuk dan langsung merebahkan Akiya di atas tempat tidur. Si perawat berambut pendek dengan jas putih panjangnya menerobos masuk dan melihat seorang gadis terbaring dengan wajah pucat dan penuh keringat. “Apa yang kalian lakukan hingga membuatnya seperti ini?!”
Akiya terlihat sangat kesakitan dan Akashi kehilangan sisi kejamnya. Semua orang di ruangan itu terdiam saat si perawat mulai memeriksa Akiya. Bahkan seluruh anggota Kiseki no Sedai kelihatan sangat khawatir. Entah karna mereka memang sangat menyayangi Akiya atau karna mereka tak mau aset berharga mereka terluka. Yang jelas, gadis ini benar-benar menggenggam kekuatan besar yang dihormati atlet-atlet besar seperti mereka.
Kagami mengamati keadaan sambil berdiri di luar ruangan.
“Kagami-kun, ayo kita pergi!” ajak Kuroko.
“Tapi...”
“Yang disini, biar Akashi-kun yang mengurusnya,” kata Kuroko.
“Ehh, tak apa meninggalkan mereka berdua saja?” tanya Kagami heran.
“Tak apa, dari awal mereka memang saudara,” jawab Kuroko sambil tersenyum.
“Jangan memasang wajah seperti itu! Menakutkan!!” bentak Kagami.
“Tapi, aku masih tak mengerti bagaimana dia melakukannya,” kata Kise.
“Melakukan apa?” tanya Momoi.
“Membuat kita semua tak bisa bergerak,” jawab Midorima. “Satu-satunya yang kita lakukan tadi hanyalah menatapnya dan membiarkannya lewat begitu saja. Seperti ada jerat yang mengikat seluruh tubuhku.”
“Apa kau ingat, apa yang kau lakukan saat dia melewatimu?” tanya Kagami.
“Aku tahu kalau aku hanya diam saja saat dia berlari, tapi aku tak percaya kalau aku benar-benar membiarkannya lewat,” jawab Aomine.
“Aku malah sama sekali tak bisa melihatnya, dia seperti Kuroko-chin yang bisa menghilang dan tiba-tiba muncul di belakangku,” kata Murasakibara.
Momoi tersentak, “Vanishing drive, kah?”
“Tidak, itu berbeda dari vanishing drive milik Kuroko, karna dari awal dia sudah tak memiliki alat untuk mengalihkan perhatian kami. Lagipula dia tidak tiba-tiba menghilang, aku bisa melihat dengan jelas dia melewatiku,” kata Midorima.
Akhirnya mereka tiba di gedung olahraga dan kembali membicarakan Akiya.
“Kalian yang melihatnya dari luar lapangan, apa tidak melihat sesuatu yang aneh?” tanya Kise.
“Justru dari awal sudah aneh,” jawab Kagami. “Gadis itu berlari dari luar lapangan dan berhenti tepat di depan Midorima. Dia hanya berdiri disana sampai beberapa menit lalu kemudian berlari melewatinya. Kemudian, dia berhenti lagi di depan Kise. Dia hanya mengambil waktu lebih sedikit kali ini, namun dia langsung berlari melewati Murasakibara, Aomine dan Akashi sekaligus.”
“Kenapa dia membutuhkan waktu lebih lama di depan Midorimacchi?” tanya Kise lagi.
“Pertanyaan yang benar adalah, kenapa dia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk melewati empat orang di depannya,” kata Aomine.
“Apa bukan karna dia sudah selesai persiapan?” tanya Murasakibara. “Pertama, Aki-chin mempersiapkan diri untuk berlari dan melewati Midorima-chin. Kedua, dia sudah selesai mempersiapkan diri dan tinggal berlari saja melewati yang lain.”
“Murasakibara, tak bisakah penjelasanmu itu diperjelas?” gumam Kagami.
“Jadi maksudmu, Akiya harus melakukan persiapan dengan mengamatiku lalu setelah melewatiku, dia mengamati kalian secara bersamaan dengan persiapan awal yang sudah dia bangun saat menghadapiku?” tanya Midorima.
“Itu masuk akal, tapi kalau memang benar, kenapa dia harus repot-repot berhenti di depan Kise? Bukankah lebih mudah kalau langsung mempersiapkan diri untuk lima orang sekaligus?” tanya Momoi.
“Moo, aku tak mengerti!!” seru Kise sambil mengacak-acak rambutnya.
Sementara itu, Momoi mulai clingak clinguk melihat seluruh sudut lapangan.
“Ada apa Satsuki?” tanya Aomine.
“Are, Tetsu-kun??” gumam Momoi. “Dimana?”
Kagami tersenyum. “Seperti biasa, dia pasti ada di belakangku.”
“Kagami-chin, dia tak ada di belakangmu,” kata Murasakibara.
“EHH?!!!”
“Kali ini dia benar-benar tak ada,” tukas Midorima.
“Anak kurang ajar itu!!!” desah Kagami.

Kuroko no Basuke : Generation of Miracles's Promise Part 3


2 tahun yang lalu
“Akashicchi, kapan adikmu kembali dari London?” tanya Kise sambil menyesap jusnya saat makan malam.
Klub basket Teiko sedang mengadakan kamp pelatihan musim panas terakhir untuk member Kiseki no Sedai di tahun ketiga mereka ini. “Ini sudah setahun, kan?”
“Untuk apa kau menanyakan hal itu, Kise?” timpal Akashi.
“Ini musim panas terakhir dan kita sama sekali belum pernah bertanding saat Akicchi berada disini. Bukankah akan lebih mudah jika ada dia?”
“Jangan mengatakan hal yang sudah jelas, Kise!” sahut Midorima. “Apa kau menyesal tidak menurutinya untuk bermain basket lebih awal?”
“Hmm, Ki-chan memang cuma sekali bertemu dengan Aki-chan. Sayang sekali,” kata Momoi.
“Jahatnya!!” seru Kise.“Kenapa kalian membuatku merasa seperti pecundang?!”
Midorima memotong steaknya, “Bagus kalau merasakannya.”
“Ada atau tidak, kita takkan kalah dengan mudah,” desah Aomine.
Murasakibara sibuk dengan makan malamnya.
“Kurokocchi, katakan sesuatu!!” bentak Kise sambil terisak.
Kuroko menelan makanannya, “Aku setuju dengan ucapan Aomine-kun. Tidak ada Aki-chan pun kita masih bisa menjadi lebih kuat. Tapi, sebenarnya, aku juga merindukannya.”
“Dan aku lebih merindukannya!!” seru Kise.
“Berisik!” bentak Midorima yang melempar brokoli tepat di kepala Kise.
“Apa-apaan kau Midorimacchi?!!” bentak Kise yang sudah berdiri untuk balas dendam.
“KALIAN!!!” desah Akashi dengan aura membunuh dan tatapan sadisnya. “Bisakah kalian diam?!”
Perlahan, Kise kembali duduk dan ketegangan berkurang sedikit demi sedikit.
“Kurasa aku harus memberitahukan ini pada kalian,” kata Akashi. “Ini tentang Akiya, aku ingin membuat perjanjian.”
Semua orang di meja itu langsung memperhatikan sang kapten dan menghentikan pekerjaan mereka. Bahkan, Murasakibara juga berhenti mengunyah makanannya.
“Siapapun di antara kita yang akan berdiri menjadi pemain terbaik Jepang, dia berhak atas Akiya,” kata Akashi. “Seseorang di antara kita.”
Selesai pidato singkat sang kapten, seluruh ruangan mendadak hening dan dimulailah kompetisi sebenarnya dari anggota Kiseki no Sedai.

***

“Nee, Nii-chan!” panggilku. “Ayo kita bermain!”
Semua yang ada di lapangan itu termasuk para penonton yang entah sejak kapan sudah memenuhi stadion kecil itu menatapku heran dan keheningan terjadi beberapa detik.
“Selagi semua sedang berkumpul disini, kenapa kita tak bersenang-senang sebentar? Basket, five on one!” tukasku.



“Apa dia sudah gila?” bisik Kagami.
“Dia menantang Kiseki no Sedai?! Yang benar saja?!!” pekik Hyuga.
“Hei, Kuroko! Apa kau pernah melihatnya bermain basket?” tanya Izuki.
“Belum, ini pertama kalinya,” jawab Kuroko.
“Aku mendapat firasat kalau ini akan jadi sesuatu yang bagus. Aku tak tahu kemampuan gadis itu, tapi tantangannya itu tidak main-main karna jelas dia tahu bagaimana kekuatan monster yang ada pada masing-masing anggota Kiseki no Sedai,” kata Riko.
“Memang benar, dia tidak main-main,” tambah Kiyoshi.



“Ada apa adikku? Hari ini kau terlihat sangat bersemangat,” kata kakakku.
“Tentu saja, bertemu teman-teman lama membuatku senang. Kalian tak keberatan menemaniku bermain, kan?”
“Tunggu, Akicchi! Apa kau serius?” tanya Kise-senpai.
“Aku tak ingin melukaimu, Aki-chin. Bagaimana kalau aku tidak melihatmu?” tanya Mura-senpai.
“Benar, Aki-chan! Itu berbahaya!” seru Momo-senpai.
Midorima menaikkan kacamatanya. “Kalian jangan membantahnya, dia sendiri jauh lebih mengerti apa yang dia lakukan.”
Ao-senpai terkekeh, “Pas sekali, aku memang sedang bosan.”
“Baiklah, tapi cukup satu kali saja,” kata Sei-nii.
“Itu sudah lebih dari cukup,” timpalku.



“Oe oee, apa ini akan baik-baik saja?” tanya Hyuga.
“Tak apa-apa,” kata Kuroko.
“Hoii, Kuroko! Bagaimana kau bisa tenang melihat seorang gadis dikeroyok lima monster seperti itu?” tanya Kagami.
“Tidak bisa dibilang aku sama sekali belum pernah melihat kejadian seperti ini,” jawab Kuroko.
“Apa yang kau katakan?” tanya Kagami. “Aku sama sekali tak mengerti.”
“Kau akan mengerti kalau melihatnya sendiri,”



“Dengar, kau hanya harus melewati kami satu persatu dan memasukkan bolanya ke ring,” kata Midorima yang berada paling depan.
Akiya sudah siap dengan bola basket yang dipantulkannya ke lantai dengan santainya. Permainan memakai seluruh lapangan. Dia melihat formasi Kiseki no Sedai yang bagi orang lain sangat mustahil untuk ditembus. Tepat di depan Akiya, Midorima sudah meletakkan boneka beruangnya. Di belakangnya, ada Kise diikuti Murasakibara, Aomine dan terakhir adalah sang kakak, Akashi. Tampak jelas walau Akiya dan Akashi berada di paling ujung lapangan, tapi tatapan mereka tak pernah terlepas satu sama lain.
“Aki-chyan, ganbatte!!” teriak Momoi dari luar lapangan. “Siap!” Dia memberi aba-aba. “MULAI!!”
Akiya mendribble bolanya mendekati Midorima dan berhenti tepat di depannya. Mereka saling tatap untuk beberapa saat. Sekali lihat, dapat dipastikan bahwa Akiya sangat tak mungkin bisa melewati Midorima, tapi Akiya sama sekali tak menunjukkan kemustahilan itu. Beberapa detik berlalu tanpa ada pergerakan dari Midorima atau pun Akiya, namun di detik kemudian, ‘Aku tak bisa bergerak!’ teriak Midorima dalam hati dan dengan mudah Akiya melewatinya.
Seluruh orang yang ada di lapangan itu terkejut dengan keajaiban Akiya. Saat sadar, Midorima menemukan Akiya sudah di belakangnya berhadapan dengan Kise. ‘Apa yang terjadi? Apa yang dia lakukan?’ pekik Midorima.
“Nee, apa yang baru saja terjadi?” seru Riko. “Kalian melihatnya, kan?”
“Yang benar saja! Midorima dilewatinya dengan mudah,” kata Hyuga.
“Apa Midorima sengaja mengalah?” tanya Izuki.
“Tidak, aku yakin Midorima pun terkejut,” jawab Kiyoshi.
Sekarang, Akiya berhadapan dengan Kise. Seperti yang dilakukannya pada Midorima, dia menatap Kise yang masih terkejut dengan kejadian ajaib itu. Di belakangnya, Murasakibara, Aomine dan bahkan kakaknya sendiri pun menatapnya dengan heran dan wajah shock mereka. Satu-persatu dia menatap semua lawannya itu. Dan di detik berikutnya, bola basket sudah melewati ring tanpa ada yang tahu bagaimana caranya. Akiya sudah berada di ujung lapangan, di belakang Akashi yang sama sekali tak menggerakkan badannya.
Seluruh lapangan terdiam. Satu-satunya suara yang terdengar hanya bunyi pantulan bola basket. Akiya membalikkan badan dan menyeringai. Merayakan kemenangan mutlaknya dengan anggun dan berkharisma. Tak ada yang tahu bagaimana kejadian sebenarnya. Semua tercengang, termasuk Kuroko dan Akashi yang sepertinya tak menyadari hal seperti akan terjadi.
“A-apa yang t-terjadi?” Momoi tergagap dan tanpa sadar, dia terduduk saking shocknya.
“S-seperti sihir,” gumam Izuki.
“Teleportasi,” gumam Hyuga.
“Terbang,” kata Kagami.
“Menghilang,” bisik Riko.
“Genjutsu, kah?” tanya Kiyoshi.
“Kapan dia menghilang dari hadapanku?” desah Kise.
“Tubuhku tak bisa bergerak,” gumam Murasakibara.
“Aku tak bisa melihatnya,” kata Aomine.
 “Apa yang kau lakukan?!” bentak Akashi langsung membalik badannya berhadapan langsung dengan Akiya.

***