Tatapan tajam
kakakku benar-benar menusuk seluruh tubuhku. “Basket,” jawabku dengan tenang.
Semakin terlihat
jelas kalau dia memang sedang marah, tapi dia bukan marah padaku, tapi lebih
pada dirinya sendiri. “Kenapa aku tak bisa bergerak?!”
“A-akashi-kun,”
panggil Momo-senpai berniat
melerai.
“DIAM!” teriak Nii-chan. “Dia harus
menjelaskannya!”
Seluruh orang yang
ada di sana semuanya terdiam. Kakakku benar-benar mengerikan saat marah. Dia
berdiri di depanku tanpa sekali pun mengedipkan matanya. Tangannya mengepal
dengan kuat, giginya bergemeretak dan detak jantungnya terdengar sangat keras.
Ini pertama kalinya aku menyadari bahwa kakakku adalah orang yang sangat
menakutkan.
Tapi, melihatnya
sampai seperti itu malah membuatku senang. Entah kenapa, aku ingin lebih
menjahilinya dan membuatnya lebih marah. Kalau dipikir, mungkin aku lebih
menakutkan dari pada kakakku. Dengan tenang aku menjawab, “Karna kau tak
melihatku bergerak.”
“APA?!” desah
kakakku.
“Secara naluri,
manusia akan bergerak karna melihat lawannya akan atau sudah bergerak. Tapi
karna kalian tak melihatku bergerak, kalian pun tak melakukan apa-apa,”
jelasku.
Sei-nii menjadi lebih
marah. “Lalu, kenapa aku tak bisa melihatnya?”
“Karna aku tak
menunjukkannya,” jawabku singkat.
Diam sejenak, kakakku mengatur nafasnya
dan dia kembali tenang dalam beberapa detik. Dia melangkahkan kakinya mendekat
padaku. Selangkah demi selangkah dan akhirnya, dia berada satu meter di
depanku. Tatapannya yang masih menakutkan sejak tadi tak terlepas dariku. Aku
takut kalau dia akan memukul atau melakukan kekerasan pada dirinya sendiri di
depanku. Dia marah, dia ingin balas dendam pada dirinya sendiri sekaligus
menghukumku karna mempermalukannya. Dia sangat tahu aku benci saat melihatnya
menyakiti dirinya sendiri.
Akashi berada dua
langkah di depan Akiya. Semua orang tak ada yang berani bersuara atau bergerak
dari tempat mereka. Namun, seketika itu juga, Kuroko sudah berdiri di depan
Akashi dan menghalanginya melangkah lebih jauh.
“Hentikan,
Akashi-kun!” kata Kuroko.
“Minggir kau!!” kata
Akashi lirih. “Aku harus menunjukkan padanya, apa yang kurasakan sekarang.”
“Tidak boleh!”
bentak Kuroko tegas. “Dia sudah mencapai batasnya, biarkan dia istirahat untuk
sementara.”
Setelah Kuroko
menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba...
“KUROKO!!” teriak
semua orang yang ada disana bersamaan dengan jatuhnya badan Akiya yang langsung
ditangkap Kuroko. Akiya pingsan dengan banyak keringat dan wajah pucat. Akashi
masih berdiri terpaku melihat adiknya terbaring lemas di pangkuan Kuroko, di
depan matanya.
“Hei para cowok!
Kenapa diam saja?!” seru Riko sambil menjitaki kepala anggota basket Seirin
yang semuanya sudah berkumpul disana. “Bawa dia ke UKS, bodoh!!”
“Kami ingin
melakukannya, tapi...” jawab Hyuga sambil melirik Akashi.
Perlahan, Midorima,
Kise, Aomine dan Murasakibara mendekat pada Akashi sambil memandangi Akiya.
“Akashicchi...”
panggil Kise lirih.
“Aku yang akan
membawanya,” kata Akashi sambil berlutut untuk mengangkat dan menggendong
Akiya.
Kuroko mengikuti di
sampingnya untuk menunjukkan jalan ke ruang UKS. Member Kiseki no Sedai juga berjalan
di belakangnya. Kemudian, anggota tim basket Seirin menyuruh seluruh anak
kembali dan membubarkan kerumunan.
“Riko, ada apa?”
tanya Kiyoshi yang melihat Riko sangat gelisah.
“Nee, apa kalian
tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pertandingan tadi?” tanya sang pelatih.
“Itu seperti
kekuatan sihir,” jawab Izuki.
“Tak ada hal seperti itu di dunia ini!”
bentak sang kapten. “Tapi, itu memang sesuatu yang sangat mustahil dilakukan.
Gadis itu hanya berlari menembus tembok yang sama sekali tak menghalanginya.
Mereka tak bisa bergerak.”
“Kalian dengar apa yang dia katakan?”
tanya Kiyoshi. “Dia bilang kalau dia tak menunjukkan kalau dia bergerak. Apa
maksudnya itu?”
“Memang benar, secara naluri manusia
hanya akan bergerak karna melihat lawan mereka bergerak. Otak akan merespon apa
yang pertama kali mereka lihat karna indera pertama yang menangkap rangsangan
paling cepat adalah mata,” jelas Riko.
“Tapi, mata iblis Akashi bisa melihat
sepuluh detik lebih cepat. Bagaimana bisa dia tak melihatnya?” tanya Izuki.
Riko kelihatan gusar. “Aku sendiri juga
tak tahu.”
“Tapi ngomong-ngomong, kemana Kagami?”
tanya Hyuga.
“Dia mengikuti Kuroko mengantar
Akiya-chan ke UKS,” jawab Koganei.
“Bocah itu, apa yang dia pikirkan? Kenapa
dia ikut-ikut reuni aneh Kiseki no Sedai?!” seru sang kapten.
Di koridor gedung sekolah, jalan menuju
UKS. Sepanjang jalan dipenuhi wajah-wajah penasaran dengan kedatangan
orang-orang dari lima sekolah elit yaitu Rakuzan, Yosen, Touou, Shuutoku dan Kaijou. Dan salah satu
dari mereka, yang memiliki wajah paling menakutkan sedang menggendong anak
kelas satu dengan nilai ujian masuk terbaik, seorang gadis dengan rambut merah
panjang tergerai.
Bisik-bisik terjadi di antara mereka.
“Nee, mereka siapa?”, “Apa yang terjadi?”, “Bukankah mereka pemain basket, aku
melihat mereka di majalah sport.”, “Itu si gadis jenius, wajahnya pucat
sekali.”, “Apa yang mereka lakukan padanya?” atau sesuatu seperti, “Hei hei,
mereka keren sekali!”, “Bukankah itu Kise Ryota?”, “Tinggi sekali cowok itu!”, “Cowok
yang membawa boneka beruang itu, bukankah dia keren?!”
UKS berada di ujung
koridor itu. Kuroko berlari mendahului dan membukakan pintu serta memanggilkan
suster perawat. “Sensei!!” pekik Kuroko.
Akashi masuk dan
langsung merebahkan Akiya di atas tempat tidur. Si perawat berambut pendek
dengan jas putih panjangnya menerobos masuk dan melihat seorang gadis terbaring
dengan wajah pucat dan penuh keringat. “Apa yang kalian lakukan hingga
membuatnya seperti ini?!”
Akiya terlihat
sangat kesakitan dan Akashi kehilangan sisi kejamnya. Semua orang di ruangan
itu terdiam saat si perawat mulai memeriksa Akiya. Bahkan seluruh anggota
Kiseki no Sedai kelihatan sangat khawatir. Entah karna mereka memang sangat
menyayangi Akiya atau karna mereka tak mau aset berharga mereka terluka. Yang
jelas, gadis ini benar-benar menggenggam kekuatan besar yang dihormati
atlet-atlet besar seperti mereka.
Kagami mengamati
keadaan sambil berdiri di luar ruangan.
“Kagami-kun, ayo
kita pergi!” ajak Kuroko.
“Tapi...”
“Yang disini, biar
Akashi-kun yang mengurusnya,” kata Kuroko.
“Ehh, tak apa
meninggalkan mereka berdua saja?” tanya Kagami heran.
“Tak apa, dari awal
mereka memang saudara,” jawab Kuroko sambil tersenyum.
“Jangan memasang
wajah seperti itu! Menakutkan!!” bentak Kagami.
“Tapi, aku masih tak
mengerti bagaimana dia melakukannya,” kata Kise.
“Melakukan apa?”
tanya Momoi.
“Membuat kita semua
tak bisa bergerak,” jawab Midorima. “Satu-satunya yang kita lakukan tadi
hanyalah menatapnya dan membiarkannya lewat begitu saja. Seperti ada jerat yang
mengikat seluruh tubuhku.”
“Apa kau ingat, apa
yang kau lakukan saat dia melewatimu?” tanya Kagami.
“Aku tahu kalau aku
hanya diam saja saat dia berlari, tapi aku tak percaya kalau aku benar-benar
membiarkannya lewat,” jawab Aomine.
“Aku malah sama
sekali tak bisa melihatnya, dia seperti Kuroko-chin yang bisa menghilang dan
tiba-tiba muncul di belakangku,” kata Murasakibara.
Momoi tersentak, “Vanishing drive, kah?”
“Tidak, itu berbeda
dari vanishing drive milik Kuroko,
karna dari awal dia sudah tak memiliki alat untuk mengalihkan perhatian kami. Lagipula dia tidak tiba-tiba
menghilang, aku bisa melihat dengan jelas dia melewatiku,” kata Midorima.
Akhirnya mereka tiba
di gedung olahraga dan kembali membicarakan Akiya.
“Kalian yang
melihatnya dari luar lapangan, apa tidak melihat sesuatu yang aneh?” tanya
Kise.
“Justru dari awal
sudah aneh,” jawab Kagami. “Gadis itu berlari dari luar lapangan dan berhenti
tepat di depan Midorima. Dia hanya berdiri disana sampai beberapa menit lalu
kemudian berlari melewatinya. Kemudian, dia berhenti lagi di depan Kise. Dia hanya mengambil waktu lebih sedikit
kali ini, namun dia langsung berlari melewati Murasakibara, Aomine dan Akashi
sekaligus.”
“Kenapa dia
membutuhkan waktu lebih lama di depan Midorimacchi?” tanya Kise lagi.
“Pertanyaan yang
benar adalah, kenapa dia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk melewati empat
orang di depannya,” kata Aomine.
“Apa bukan karna dia
sudah selesai persiapan?” tanya Murasakibara. “Pertama, Aki-chin mempersiapkan
diri untuk berlari dan melewati Midorima-chin. Kedua, dia sudah selesai
mempersiapkan diri dan tinggal berlari saja melewati yang lain.”
“Murasakibara, tak
bisakah penjelasanmu itu diperjelas?” gumam Kagami.
“Jadi maksudmu,
Akiya harus melakukan persiapan dengan mengamatiku lalu setelah melewatiku, dia
mengamati kalian secara bersamaan dengan persiapan awal yang sudah dia bangun saat menghadapiku?”
tanya Midorima.
“Itu masuk akal,
tapi kalau memang benar, kenapa dia harus repot-repot berhenti di depan Kise?
Bukankah lebih mudah kalau langsung mempersiapkan diri untuk lima orang
sekaligus?” tanya Momoi.
“Moo, aku tak
mengerti!!” seru Kise sambil
mengacak-acak rambutnya.
Sementara itu, Momoi mulai clingak
clinguk melihat seluruh sudut lapangan.
“Ada apa Satsuki?” tanya Aomine.
“Are, Tetsu-kun??” gumam Momoi. “Dimana?”
Kagami tersenyum. “Seperti biasa, dia
pasti ada di belakangku.”
“Kagami-chin, dia tak ada di belakangmu,”
kata Murasakibara.
“EHH?!!!”
“Kali ini dia benar-benar tak ada,” tukas
Midorima.
“Anak kurang ajar itu!!!” desah Kagami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar