Kamis, 19 Maret 2015

Kuroko no Basuke : Generation of Miracles's Promise Part 4



Tatapan tajam kakakku benar-benar menusuk seluruh tubuhku. “Basket,” jawabku dengan tenang.
Semakin terlihat jelas kalau dia memang sedang marah, tapi dia bukan marah padaku, tapi lebih pada dirinya sendiri. “Kenapa aku tak bisa bergerak?!”
“A-akashi-kun,” panggil Momo-senpai berniat melerai.
“DIAM!” teriak Nii-chan. “Dia harus menjelaskannya!”
Seluruh orang yang ada di sana semuanya terdiam. Kakakku benar-benar mengerikan saat marah. Dia berdiri di depanku tanpa sekali pun mengedipkan matanya. Tangannya mengepal dengan kuat, giginya bergemeretak dan detak jantungnya terdengar sangat keras. Ini pertama kalinya aku menyadari bahwa kakakku adalah orang yang sangat menakutkan.
Tapi, melihatnya sampai seperti itu malah membuatku senang. Entah kenapa, aku ingin lebih menjahilinya dan membuatnya lebih marah. Kalau dipikir, mungkin aku lebih menakutkan dari pada kakakku. Dengan tenang aku menjawab, “Karna kau tak melihatku bergerak.”
“APA?!” desah kakakku.
“Secara naluri, manusia akan bergerak karna melihat lawannya akan atau sudah bergerak. Tapi karna kalian tak melihatku bergerak, kalian pun tak melakukan apa-apa,” jelasku.
Sei-nii menjadi lebih marah. “Lalu, kenapa aku tak bisa melihatnya?”
“Karna aku tak menunjukkannya,” jawabku singkat.
Diam sejenak, kakakku mengatur nafasnya dan dia kembali tenang dalam beberapa detik. Dia melangkahkan kakinya mendekat padaku. Selangkah demi selangkah dan akhirnya, dia berada satu meter di depanku. Tatapannya yang masih menakutkan sejak tadi tak terlepas dariku. Aku takut kalau dia akan memukul atau melakukan kekerasan pada dirinya sendiri di depanku. Dia marah, dia ingin balas dendam pada dirinya sendiri sekaligus menghukumku karna mempermalukannya. Dia sangat tahu aku benci saat melihatnya menyakiti dirinya sendiri.



Akashi berada dua langkah di depan Akiya. Semua orang tak ada yang berani bersuara atau bergerak dari tempat mereka. Namun, seketika itu juga, Kuroko sudah berdiri di depan Akashi dan menghalanginya melangkah lebih jauh.
“Hentikan, Akashi-kun!” kata Kuroko.
“Minggir kau!!” kata Akashi lirih. “Aku harus menunjukkan padanya, apa yang kurasakan sekarang.”
“Tidak boleh!” bentak Kuroko tegas. “Dia sudah mencapai batasnya, biarkan dia istirahat untuk sementara.”
Setelah Kuroko menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba...
“KUROKO!!” teriak semua orang yang ada disana bersamaan dengan jatuhnya badan Akiya yang langsung ditangkap Kuroko. Akiya pingsan dengan banyak keringat dan wajah pucat. Akashi masih berdiri terpaku melihat adiknya terbaring lemas di pangkuan Kuroko, di depan matanya.
“Hei para cowok! Kenapa diam saja?!” seru Riko sambil menjitaki kepala anggota basket Seirin yang semuanya sudah berkumpul disana. “Bawa dia ke UKS, bodoh!!”
“Kami ingin melakukannya, tapi...” jawab Hyuga sambil melirik Akashi.
Perlahan, Midorima, Kise, Aomine dan Murasakibara mendekat pada Akashi sambil memandangi Akiya.
“Akashicchi...” panggil Kise lirih.
“Aku yang akan membawanya,” kata Akashi sambil berlutut untuk mengangkat dan menggendong Akiya.
Kuroko mengikuti di sampingnya untuk menunjukkan jalan ke ruang UKS. Member Kiseki no Sedai juga berjalan di belakangnya. Kemudian, anggota tim basket Seirin menyuruh seluruh anak kembali dan membubarkan kerumunan.
“Riko, ada apa?” tanya Kiyoshi yang melihat Riko sangat gelisah.
“Nee, apa kalian tahu apa yang sebenarnya terjadi pada pertandingan tadi?” tanya sang pelatih.
“Itu seperti kekuatan sihir,” jawab Izuki.
“Tak ada hal seperti itu di dunia ini!” bentak sang kapten. “Tapi, itu memang sesuatu yang sangat mustahil dilakukan. Gadis itu hanya berlari menembus tembok yang sama sekali tak menghalanginya. Mereka tak bisa bergerak.”
“Kalian dengar apa yang dia katakan?” tanya Kiyoshi. “Dia bilang kalau dia tak menunjukkan kalau dia bergerak. Apa maksudnya itu?”
“Memang benar, secara naluri manusia hanya akan bergerak karna melihat lawan mereka bergerak. Otak akan merespon apa yang pertama kali mereka lihat karna indera pertama yang menangkap rangsangan paling cepat adalah mata,” jelas Riko.
“Tapi, mata iblis Akashi bisa melihat sepuluh detik lebih cepat. Bagaimana bisa dia tak melihatnya?” tanya Izuki.
Riko kelihatan gusar. “Aku sendiri juga tak tahu.”
“Tapi ngomong-ngomong, kemana Kagami?” tanya Hyuga.
“Dia mengikuti Kuroko mengantar Akiya-chan ke UKS,” jawab Koganei.
“Bocah itu, apa yang dia pikirkan? Kenapa dia ikut-ikut reuni aneh Kiseki no Sedai?!” seru sang kapten.



Di koridor gedung sekolah, jalan menuju UKS. Sepanjang jalan dipenuhi wajah-wajah penasaran dengan kedatangan orang-orang dari lima sekolah elit yaitu Rakuzan, Yosen, Touou, Shuutoku dan Kaijou. Dan salah satu dari mereka, yang memiliki wajah paling menakutkan sedang menggendong anak kelas satu dengan nilai ujian masuk terbaik, seorang gadis dengan rambut merah panjang tergerai.
Bisik-bisik terjadi di antara mereka. “Nee, mereka siapa?”, “Apa yang terjadi?”, “Bukankah mereka pemain basket, aku melihat mereka di majalah sport.”, “Itu si gadis jenius, wajahnya pucat sekali.”, “Apa yang mereka lakukan padanya?” atau sesuatu seperti, “Hei hei, mereka keren sekali!”, “Bukankah itu Kise Ryota?”, “Tinggi sekali cowok itu!”, “Cowok yang membawa boneka beruang itu, bukankah dia keren?!”
UKS berada di ujung koridor itu. Kuroko berlari mendahului dan membukakan pintu serta memanggilkan suster perawat. “Sensei!!” pekik Kuroko.
Akashi masuk dan langsung merebahkan Akiya di atas tempat tidur. Si perawat berambut pendek dengan jas putih panjangnya menerobos masuk dan melihat seorang gadis terbaring dengan wajah pucat dan penuh keringat. “Apa yang kalian lakukan hingga membuatnya seperti ini?!”
Akiya terlihat sangat kesakitan dan Akashi kehilangan sisi kejamnya. Semua orang di ruangan itu terdiam saat si perawat mulai memeriksa Akiya. Bahkan seluruh anggota Kiseki no Sedai kelihatan sangat khawatir. Entah karna mereka memang sangat menyayangi Akiya atau karna mereka tak mau aset berharga mereka terluka. Yang jelas, gadis ini benar-benar menggenggam kekuatan besar yang dihormati atlet-atlet besar seperti mereka.
Kagami mengamati keadaan sambil berdiri di luar ruangan.
“Kagami-kun, ayo kita pergi!” ajak Kuroko.
“Tapi...”
“Yang disini, biar Akashi-kun yang mengurusnya,” kata Kuroko.
“Ehh, tak apa meninggalkan mereka berdua saja?” tanya Kagami heran.
“Tak apa, dari awal mereka memang saudara,” jawab Kuroko sambil tersenyum.
“Jangan memasang wajah seperti itu! Menakutkan!!” bentak Kagami.
“Tapi, aku masih tak mengerti bagaimana dia melakukannya,” kata Kise.
“Melakukan apa?” tanya Momoi.
“Membuat kita semua tak bisa bergerak,” jawab Midorima. “Satu-satunya yang kita lakukan tadi hanyalah menatapnya dan membiarkannya lewat begitu saja. Seperti ada jerat yang mengikat seluruh tubuhku.”
“Apa kau ingat, apa yang kau lakukan saat dia melewatimu?” tanya Kagami.
“Aku tahu kalau aku hanya diam saja saat dia berlari, tapi aku tak percaya kalau aku benar-benar membiarkannya lewat,” jawab Aomine.
“Aku malah sama sekali tak bisa melihatnya, dia seperti Kuroko-chin yang bisa menghilang dan tiba-tiba muncul di belakangku,” kata Murasakibara.
Momoi tersentak, “Vanishing drive, kah?”
“Tidak, itu berbeda dari vanishing drive milik Kuroko, karna dari awal dia sudah tak memiliki alat untuk mengalihkan perhatian kami. Lagipula dia tidak tiba-tiba menghilang, aku bisa melihat dengan jelas dia melewatiku,” kata Midorima.
Akhirnya mereka tiba di gedung olahraga dan kembali membicarakan Akiya.
“Kalian yang melihatnya dari luar lapangan, apa tidak melihat sesuatu yang aneh?” tanya Kise.
“Justru dari awal sudah aneh,” jawab Kagami. “Gadis itu berlari dari luar lapangan dan berhenti tepat di depan Midorima. Dia hanya berdiri disana sampai beberapa menit lalu kemudian berlari melewatinya. Kemudian, dia berhenti lagi di depan Kise. Dia hanya mengambil waktu lebih sedikit kali ini, namun dia langsung berlari melewati Murasakibara, Aomine dan Akashi sekaligus.”
“Kenapa dia membutuhkan waktu lebih lama di depan Midorimacchi?” tanya Kise lagi.
“Pertanyaan yang benar adalah, kenapa dia hanya membutuhkan sedikit waktu untuk melewati empat orang di depannya,” kata Aomine.
“Apa bukan karna dia sudah selesai persiapan?” tanya Murasakibara. “Pertama, Aki-chin mempersiapkan diri untuk berlari dan melewati Midorima-chin. Kedua, dia sudah selesai mempersiapkan diri dan tinggal berlari saja melewati yang lain.”
“Murasakibara, tak bisakah penjelasanmu itu diperjelas?” gumam Kagami.
“Jadi maksudmu, Akiya harus melakukan persiapan dengan mengamatiku lalu setelah melewatiku, dia mengamati kalian secara bersamaan dengan persiapan awal yang sudah dia bangun saat menghadapiku?” tanya Midorima.
“Itu masuk akal, tapi kalau memang benar, kenapa dia harus repot-repot berhenti di depan Kise? Bukankah lebih mudah kalau langsung mempersiapkan diri untuk lima orang sekaligus?” tanya Momoi.
“Moo, aku tak mengerti!!” seru Kise sambil mengacak-acak rambutnya.
Sementara itu, Momoi mulai clingak clinguk melihat seluruh sudut lapangan.
“Ada apa Satsuki?” tanya Aomine.
“Are, Tetsu-kun??” gumam Momoi. “Dimana?”
Kagami tersenyum. “Seperti biasa, dia pasti ada di belakangku.”
“Kagami-chin, dia tak ada di belakangmu,” kata Murasakibara.
“EHH?!!!”
“Kali ini dia benar-benar tak ada,” tukas Midorima.
“Anak kurang ajar itu!!!” desah Kagami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar