Jumat, 22 Mei 2015

Kuroko no Basuke vs Haikyuu : Seirin vs Karasuno Part 6


Apa yang aku lakukan? Untuk apa aku melakukan itu semua? Apa yang terjadi padaku? Benarkah aku melakukannya karna aku peduli dengan tim ini? Ataukah hanya untuk kesenanganku sendiri? Di samping itu, aku merasakan kepalaku mulai berat, dadaku terasa sakit bahkan aku mulai kesulitan bernafas. Sudah kuduga, aku terlalu banyak melakukan hal yang tak seharusnya kulakukan. Padahal aku hanya memaksa tubuhku sedikit, tapi dampaknya sangat membuatku kesakitan.
Aku berjalan sambil bersandar pada dinding, menyeret kakiku yang terasa berat. Aku lelah, terlalu lelah bahkan untuk membuka mataku. Kamarku masih berada beberapa meter lagi, namun aku sudah tak kuat menggerakkan kaki. Nafasku makin terasa sesak, kepalaku sakit dan pandanganku mulai menghitam. Gawat, aku sudah tak kuat.
“Aki-chan,”
Seseorang menangkapku tepat saat tubuhku terhuyung ke belakang. Walaupun aku tak bisa melihat dengan jelas, tapi aku mengenali suara yang memanggil namaku tadi adalah suara Kuro-senpai. Perlahan, aku kehilangan kesadaran.
Aroma alcohol yang kuat memaksa kesadaranku kembali. Pemaksaan itu membuat kepalaku jauh lebih pusing dari semula. Badanku sangat lemas, bahkan aku tak bisa menggerakkan jari-jariku. Seluruh indraku sudah mulai pulih, jadi aku bisa membuka mataku dan mendengar suara yang ada di sekitarku. Orang yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata adalah Kuro-senpai dengan wajah cemasnya yang selalu dia pasang ketika bersamaku. Tapi di ruangan ini, tak hanya Kuro-senpai tapi semuanya berkumpul disini.
Ketika aku sudah bisa menggerakkan bola mataku, aku dapat melihat dengan jelas wajah-wajah khawatir saat menatapku. Shimizu-san, Sugawara-san, Kagami-senpai, Hyuga-senpai, pelatih Ukai, Tanaka-san, Hinata-kun, Izuki-senpai, Kiyoshi-senpai, Kageyama-kun bahkan Tsukishima juga cemas walaupun tertutup oleh ketakutannya padaku.
Tiba-tiba, sebuah titik air mata menetes dari mata kananku. Aku menutupinya dengan tangan dan dengan tarikan nafas yang dalam, berbulir-bulir air mata jatuh ke sisi kanan dan kiriku. Kutahan setiap isakan dengan menggigit bibirku sendiri. Kuro-senpai langsung menyadari bahwa aku sedang menangis.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyanya.
Mendengar suara Kuro-senpai membuatku lebih terisak. Air mataku tak mau berhenti, isakanku tak bisa kutahan lagi. Luapan emosiku melebihi yang bisa kubendung, aku marah, aku kecewa, aku cemburu, aku menyesal, aku merasa tak berguna. Semua perasaan itu bercampur dengan kenangan-kenangan yang menyakitkan sehingga menjadi pemicu untukku lebih terisak. Aku menangis, melepaskan semuanya, berharap perasaanku akan membaik setelah ini. Seisi ruangan menjadi sedikit tenang sehingga yang bisa terdengar adalah suara isakanku yang semakin lama semakin keras.
“Ada apa, Akiya?” tanya Kagami-senpai.
Aku tak menjawab sambil terus menangis selama beberapa menit. Mereka pun menjadi lebih khawatir. Yachi-san bahkan ikut meneteskan airmata. Disaat aku berada di puncak emosiku, tiba-tiba muncul banyak kalimat yang ingin kuucapkan.
“Aku ingin melakukannya!” seruku. “Aku ingin berlari, aku ingin melompat, aku ingin menendang bola, aku ingin melakukannya sendiri bukan melihat dari jauh. Kenapa aku dilahirkan dengan tubuh lemah ini? Kenapa aku tak bisa melakukannya dengan tubuh ini? Melihat orang-orang penuh bakat seperti kalian membuatku iri. Iri akan kebebasan kalian, iri akan kekuatan kalian, iri akan kkerja keras kalian, iri akan semua yang bisa kalian lakukan sedangkan aku tak bisa melakukannya. Aku tidak lumpuh, tapi kenapa aku tidak bisa berlari? Kedua tanganku berfungsi dengan baik, tapi kenapa aku tak boleh memukul bola? Aku punya anggota tubuh yang lengkap, tapi kenapa aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas? Nee, beritahu aku! Bagaimana rasanya angin kencang yang menerpa wajah ketika kau berlari? Bagaimana pemandangan dari atas saat kau melompat? Beritahu, tolong ceritakan padaku! Aku ingin… aku ingin… aku ingin melakukan yang kalian lakukan!!”
Akhirnya benar-benar kukeluarkan semua yang ada di pikiranku. Ahh tidak, aku mengatakannya tanpa berpikir dulu. Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya aku kalah dengan emosiku. Kira-kira kenapa aku bisa terlihat sangat menyedihkan seperti ini? Ini tidak seperti diriku biasanya yang mengabaikan rasa cemburuku. Padahal sebenarnya, bukan seperti ini yang kuharapkan. Ini diluar perkiraanku.
Ruangan membisu selama hampir satu menit sampai akhirnya, Kuro-senpai mengatakan sesuatu. “Aku juga iri. Banyak yang harusnya bisa kulakukan, tapi aku tak bisa melakukannya. Aku ingin bisa melakukan dunk seperti Kagami-kun, menembak tiga angka seperti Hyuga-senpai, melompat tinggi seperti Hinata-kun, dan aku juga iri dengan kemampuan analisamu.”
“Benar!” seru Hinata-kun. “Aku juga ingin bisa me-receive dengan baik seperti Nishinoya-san, melakukan smash ace seperti Asahi-san, dan juga melakukan service ace seperti Kageyama!” Hinata sedikit tersedak saat menyebutkan nama Kageyama.
“Aku ingin selincah Nishinoya,” kata Hyuga-senpai.
“Aku juga ingin bisa melompat tinggi!” seru Nishinoya-san.
“Akiya-san, aku ingin sepertimu! Menjadi manager yang bisa mengatur tim dengan baik!” pekik Yachi-san dengan wajah memerah karena malu.
Ruangan menjadi sangat berisik dengan seruan-seruan ambisi yang beraneka ragam. Sebenarnya, kecemburuanku tidaklah senaif kata-kata mereka. Ingin melompat, ingin melakukan dunk, ingin melakukan smash, ingin menjadi ace. Itu bukan sesuatu yang sulit saat kau bisa menggunakan tubuhmu dengan bebas tanpa harus khawatir akan pingsan atau tersiksa karna sesak nafas. Aku sudah muak dengan tabung oksigen, jarum suntik, obat dan kursi roda. Aku tak ingin menyentuh mereka lagi.
Saat melihat kakakku kalah dari Kuro-senpai, aku tak bisa menahan diriku untuk kembali ke Jepang. Kukira, aku bisa memperbaiki hubungan kami. Tapi ternyata, kembali kesini membuatku makin cemburu dengan orang-orang ini. Meskipun kakakku berubah dan tak keras kepala seperti dulu, namun dia jadi lebih mencintai basketnya. Dan aku benci saat tak bisa menyukai sesuatu yang membuat kakakku senang. Semua orang yang ada disini, mereka mencintai sesuatu yang tak bisa kusukai.
Setelah tangisanku berhenti dan aku kembali tenang, aku membuka mata. Kemudian menegakkan tubuhku, memandang sekeliling. Ruangan ini jadi seramai ruang makan tadi. Jam dinding menunjukkan pukul 22.34 yang artinya aku sudah pingsan selama hampir tiga jam. Kuro-senpai memandangku lalu tersenyum.
“Mau kuambilkan sesuatu?” tanyanya.
Aku menggeleng. Meskipun perasaanku belum membaik, tapi aku menghargai usaha mereka untuk menghiburku, jadi aku membalas senyum Kuro-senpai dan memerhatikan mereka satu persatu. “Terima kasih,” gumamku.
“Ano yo, Akiya! Sebenarnya, menangis tak cocok untukmu,” kata Kagami-senpai. “I-itu karna kau adiknya si Akashi dan kau sangat mirip jadi aku tak bisa menahan untuk tak membayangkan kalau yang menangis adalah Akashi.”
Tawaku tersedak dan aku menutupi bibirku dengan tangan agar tak terdengar keras. “Apa-apaan itu?!”
“Kagami-kun, menurutku ada yang salah dengan kepalamu,” timpal Kuro-senpai.
Keadaan menjadi lebih hangat dan akhirnya aku bisa ngobrol seperti biasa. Yahh, walaupun Tsukishima-kun masih terlihat takut denganku tapi dia sudah bisa bicara di depanku. Sepertinya, dia juga khawatir saat aku pingsan tadi. Hampir tengah malam dan aku memutuskan untuk kembali ke kamar.
“Aku akan mengantarmu,” kata Kuro-senpai.
Kami berdua keluar dari ruangan itu dan berjalan di koridor yang gelap. Suara-suara dari ruangan yang kami tinggalkan masih bisa terdengar. Beberapa bunyi derak kayu terkadang terdengar di sela-sela langkah kami di atas lantai kayu yang licin. Setelah dirasa cukup tenang, Kuro-senpai memulai pembicaraan.
“Kenapa kau menyuruh kami melakukan perjalanan ini?” tanya Kuro-senpai.
Kami berbelok ke arah balkon. “Tidak ada alasan khusus. Tapi kalau senpai bertanya apa aku punya rencana disini, jawabannya ada.”
Kuro-senpai menatapku bingung.
“Dari awal aku sudah tahu kalau Klub Voli Karasuno akan menginap disini. Mereka adalah tim voli yang unik, terlebih lagi tim ini sangat mirip dengan Seirin tahun lalu.”
“Kageyama dan Hinata?”
Aku tertawa. “Benar! Tak hanya duo anak kelas satu, tapi juga kapten yang mengerikan saat marah, Hyuga-senpai dan Sawamura-san, penyongkong tim yang sangat berbakat, Nishinoya-san dan Kiyoshi-senpai dan juga penyegar suasana, Izuki-senpai dan Sugawara-san.”
Kuro-senpai tertawa dalam senyumannya. “Bagaimana kau tahu tentang mereka?”
“Aku tak harus memberitahukan caraku mendapatkan data, kan? Cukup tahu saja kalau aku bisa mendapatkan informasi yang bahkan tidak mungkin didapatkan seorang presiden tentang apapun di dunia ini,”
“Kau cukup sombong untuk orang yang meneriakkan kecemburuannya dengan lantang,” ucap Kuro-senpai dan kami berdua tertawa bersama. “Kami memutuskan untuk bertanding sesuai taruhan yang kau ajukan.”
“Baguslah! Jadi aku tak perlu memaksa kalian lagi,” tukasku.
“Rencanamu berjalan lancar?”
“Ini bahkan belum masuk ke dalam rencana. Tapi, yahh, dengan begini, bisa dibilang rencana akan berjalan baik. Meskipun tadi ada sedikit kesalahan,” jawabku.
“Kesalahan?”
Aku mengambil nafas panjang, bermaksud untuk menjelaskan. “Aku dan kakakku memiliki kemampuan untuk mengintimidasi orang, bahkan kakakku sudah mengembangkan kemampuan itu dan akhirnya mendapatkan Emperor Eye. Mengintimidasi orang bukanlah kemampuan yang bisa dilakukan seenaknya karna untuk menggunakannya membutuhkan energi yang cukup banyak. Kakakku banyak menggunakannya dalam pertandingan, tapi itu hanya sebagian kecil dari apa yang bisa dia lakukan. Keefektifannya pun hanya bersifat sementara dan tertuju pada orang tertentu karna dia tak bisa mengintimidasi seluruh orang di dalam lapangan.”
“Dan kau menggunakannya untuk menantang Karasuno?” tanya Kuro-senpai.
“Benar! Karna cara itu lebih efektif daripada harus menjelaskannya pelan-pelan. Berbeda dengan kakakku, aku bisa mengintimidasi orang dengan energi yang lebih sedikit dan skala yang lebih besar. Tapi, terjadi sesuatu yang diluar kendaliku. Tsukishima-kun tidak memperhatikanku dari awal, sehingga dia tidak terintimidasi. Makanya, aku membuatnya memperhatikanku, tapi jadinya aku malah mengeluarkan terlalu banyak energi. Rasanya sama saat aku pingsan setelah bertanding melawan Kiseki no Sedai,”
“Apa ini juga hipnotis?”
“Bukan, ini bukan hipnotis,” jawabku. “Bisa dikatakan, ini lebih sederhana daripada hipnotis. Kenapa waktu itu aku menggunakan hipnotis? Karna jelas aku tidak bisa mengintimidasi kakakku.”
Tiba-tiba, Kuro-senpai mengusap kepalaku. “Jangan suka bertindak ceroboh seperti tadi! Kau membuatku khawatir.” Dia memandangku dengan mata birunya yang gelap di bawah hening malam dan cahaya bulan yang redup.
Melihatnya membuat wajahku panas dan mungkin sudah terlihat memerah. Tapi aku menikmati setiap dentuman jantung yang seakan hampir melompat dan meledak tepat di depan wajahku. Perlahan bibirku membentuk sebuah lengkungan senyum yang sudah lama tidak kulakukan. Aku membiarkan diriku merasa hidup tidak hanya dari detak jantung yang sudah merajalela, tapi juga pipiku yang memanas, tubuhku yang terasa hangat dan desah nafas yang bisa kudengar di sela-sela hembusan angin yang menyibakkan rambut merah panjangku.

***

Kuroko no Basuke vs Haikyuu : Seirin vs Karasuno Part 5


Setelah menghabiskan makan malamnya, Akiya mendadak diam. Dia memperhatikan sekeliling dan sepertinya sedang memikirkan sesuatu.
“Pelatih Ukai!” panggilnya.
Pelatih Ukai langsung menoleh dan seisi ruangan membisu. Semua mata tertuju pada Akiya. Dia mengangkat sebuah garpu dan mengacungkannya kepada pelatih Ukai yang berada di hadapannya.
“Nee, ayo kita bertanding!” ucapnya dengan sorot mata sadis dan seringai meremehkan.
‘Ini dia!’ pikir Hyuga. ‘Akashi’s yandere mode! Kali ini apa yang dia rencanakan?’
“Tiba-tiba saja, aku ingin bermain basket. Jadi, bagaimana kalau kita bertaruh pada sebuah pertandingan. Seirin lawan Karasuno!’ kata Akiya.
Pelatih Ukai masih terlalu terkejut dengan perubahan raut wajah Akiya, dari yang tadinya ceria, ramah, dan pribadi yang menyenangkan tiba-tiba menjadi sadis dan menakutkan. Hanya dengan melihat matanya, pelatih Ukai tidak bisa mengeluarkan suara.
“Pertandingan voli, jika kami menang, kami akan menggunakan gedung olahraga itu untuk bermain basket, tapi jika kalian yang menang, kalian yang menentukan hukuman kami!”
‘Voli? Apa dia sudah gila? Kami tak bisa bermain voli!!’ pikir Kagami.
‘Apa yang dia rencanakan?! Aku ingin menghentikannya, tapi tenggorokanku tercekik. Sial, dia ingin mempermainkan kami!’ seru Hyuga dalam hati.
“Kalau kau ingin menggunakan lapangan, kami bisa meminjamkannya, (Kagami : Bodoh! Dia tidak sedang bicara padamu! Cari mati, ya?!) tak perlu melakukan pertandingan segala. Sungguh, merepotkan! (Izuki : Kuroko, cepat katakan sesuatu! Dalam keadaan seperti ini, hanya kau yang bisa mengendalikannya),” tukas Tsukishima yang duduk di samping Sugawara dengan malas.
Belum sempat Tsukishima mengatupkan bibirnya, dia langsung terhentak dan jatuh ke belakang. Akiya sama sekali tidak menoleh pada Tsukishima, tapi tangan kanannya merentang tepat di depan wajah Sugawara dan sebuah garpu terlihat menancap di dinding. Tsukishima berhenti bernafas saat menyadari apa yang baru saja terjadi, Akiya melemparkan garpunya ke arah Tsukishima.
“Diam! Aku tidak sedang bicara denganmu!” kata Akiya di tengah kesunyian yang dibuatnya. “Meminjam katamu? Siapa yang mau melakukan hal membosankan seperti itu?! Bukankah lebih menyenangkan jika aku bisa merebutnya?”
‘Aki-chan, menakutkan!’ pikir Hinata. ‘Bahkan Kageyama sama sekali tak ada apa-apanya.’
‘Dia bukan hanya gadis yang tak biasa, tapi manusia yang sangat menakutkan! Sial, aku tak berani mengeluarkan suara!’ pikir pelatih Ukai. ‘Benar-benar aura yang mengerikan!’
Kagami sedang mengingat-ingat sesuatu. ‘Sepertinya, ini bukan yang pertama kali. Aku pernah hampir ditikam Akashi menggunakan gunting. Tapi, waktu itu Akashi sudah tahu kalau aku akan menghindar, sedangkan Akiya, dia bahkan tidak melihat Tsukishima. Apa dia hanya berniat melempar ke arah Tsukishima? Tidak, dia tahu. Dia bisa memperkirakan lemparan yang dia lakukan agar tidak mengenai Tsukishima. Itu artinya, dia bukan sekedar gadis dengan daya analisis tinggi, tapi juga seorang atlet yang bahkan bisa melebihi Kiseki no Sedai.’
Akiya menghela nafas dalam, dan akhirnya ketegangan pun berkurang. Suasana menjadi lebih tenang karena aura yang menyelimuti ruangan perlahan mulai kembali seperti semula. Tekanan yang tadi menyekik, kini menghilang seiring ketenangan Akiya yang mulai nampak. Semua orang yang berada di ruangan itu dapat kembali bernafas dengan lega kecuali Tsukishima yang masih shock dengan yang terjadi padanya.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Tanaka memecah keheningan untuk pertama kali.
Yang lain pun mulai menemukan suara mereka kembali. Sugawara langsung menenangkan Tsukishima yang ada di sampingnya. Keributan mulai terdengar kembali, sementara Akiya menunduk dengan tangan memegangi dahi.
“Oee, Akiya! Apa yang baru saja terjadi? Jelaskan semuanya!!” seru Hyuga.
“Nee, Akiya!! Apa yang sedang kau rencanakan? Cepat beritahu kami!” teriak Izuki.
“Apa kau pikir kami mau menurutimu begitu saja! Jangan seenaknya!!” bentak Kagami.
Semua member Seirin melayangkan protes dan membentaki Akiya, kecuali Kuroko yang tetap diam mengamati di sampingnya. Akiya sendiri tidak menjawab dan masih tertunduk menatap lantai dengan tangan menutupi dahi dan nafas yang tersengal-sengal. Beberapa detik kemudian, perlahan dia mendongak dengan wajah pucatnya.
“Siapa bilang kalian tak bisa bermain voli? Siapa bilang kalian tak bisa bermain basket? Semua orang boleh bermain, dan sudah kubilang kalian akan mendapatkan sesuatu jika melakukan hal yang belum pernah kalian lakukan,” kata Akiya yang langsung berdiri dan berjalan ke pintu. “Kau boleh membenciku, Hyuga-senpai. Tapi, asal tahu saja, di hari ketika aku menyutujui untuk menjadi manager tim ini, aku sudah memutuskan untuk mendukung tim ini sepenuhnya. Termasuk melawan kakakku sendiri.”
Hyuga terpaku menatap pintu setelah Akiya menghilang di baliknya. Dia memandangi seluruh member Seirin dan mengeluh. “Setelah apa yang dilakukannya, kenapa jadi aku yang merasa bersalah?”
“Apakah itu yang kau maksud dengan ‘gadis paling menakutkan’, Izuki-san?” tanya Nishinoya.
“Itu salah satunya. Sial, aku bahkan lupa kalau dia bisa mengalahkan seluruh Kiseki no Sedai sendirian,” kata Izuki.
“Kiseki no Sedai yang kau ceritakan itu?!” seru Hinata bersemangat.
“Ya, dia mengalahkannya dalam tanding basket, five-on-one,” jawab Kiyoshi. (Tanaka – Nishinoya : Tak mungkin!!!)
“Tapi ngomong-ngomong, Tsukishima terlihat sangat terkejut. Lihat, dia masih kelihatan pucat,” timpal Azumane.
Tsukishima tertunduk sambil diselimuti aura ketakutan di sekelilingnya. Yamaguchi dan Sugawara masih berusaha menenangkannya. Kageyama melihatnya dengan raut wajah senang.
“Oee, Kageyama! Kenapa kau senyum-senyum?” tanya Sawamura.
Kageyama yang kaget, langsung mengatur ulang mimic wajanya. “Tidak ada apa-apa,” jawabnya sambil memalingkan wajah senangnya.
“Nee, Kapten Seirin!” panggil pelatih Ukai. “Ada sesuatu yang ingin kutanyakan.”
Sang kapten dan seluruh member menoleh ke pelatih Ukai.
“Gadis itu, apa dia pernah melakukan hal ini sebelumnya?” tanya pelatih Ukai.
“Tidak, belum pernah yang seperti ini,” jawab kapten Seirin. “Kami juga terkejut.”
Pelatih Ukai menunjukkan wajah serius. “Lalu bagaimana menurut kalian tindakannya barusan?”
“Aku tak tahu bagaimana menjawabnya,” jawab Hyuga.
Kagami berdeham, “Meskipun kami tahu bagaimana mengerikannya aura Akiya, kami tak menyangka dia bisa melakukan sesuatu yang lebih menakutkan dari orang itu.”
“Orang itu?” tanya Kageyama.
“Akashi Seijurou, kakaknya Akiya,” jawab Izuki.
“Aku mendengar cerita tentangnya. Apa hubungan mereka tidak baik?” tanya pelatih Ukai.
“Kami hanya tahu kalau Akiya membenci kakaknya, selebihnya, dia tak pernah membahasnya,” jawab Kiyoshi. “Kuroko, kau tahu sesuatu? Are??”
Kiyoshi dan yang lain menoleh ke tempat duduk Kuroko, tapi tak menemukannya.
“Anak itu, lagi-lagi menghilang seenaknya!” keluh Hyuga.
“Pokoknya, pasti ada sesuatu dibalik apa yang dia katakan. Kenapa kita tak mencobanya?” saran pelatih Ukai.
“Aku setuju, lagipula taruhannya tidak begitu membebani tim. Tenang saja, kami takkan memberi hukuman yang sulit,” ucap Sawamura.
“Heehh?!!” ledek Hyuga. “Apa kalian yakin bisa menang?”
“Kami takkan kalah dari pemula!!” seru Tanaka.
“Itu benar!” timpal Nishinoya. “Apa yang membuat kalian berpikir bisa mengalahkan kami?”
“Akiya!” jawab Kagami. “Selama kami punya Akiya, kami tak bisa dikalahkan dengan mudah.”
“Ehh, sangat percaya diri rupanya,” tukas Kageyama. “Kalau begitu kami akan melawan dengan serius (Sugawara : Oee, kalian! Tidakkah sebaiknya kalian khawatirkan Tsukishima dulu. Dia bahkan tak bisa mengangkat wajahnya)!”
“Jadi, sudah diputuskan!” kata Hyuga. “Kita akan melakukan pertandingan voli untuk memperebutkan hak lapangan!”
“Yoroshiku!” kata Sawamura sambil berjabat tangan dengan kapten Seirin.

***

Kuroko no Basuke vs Haikyuu : Seirin vs Karasuno Part 4


“Anoo, manager itu…” Tanaka mencoba untuk bertanya pada Izuki. “Kelas berapa?”
“Aki-chan, kah?” timpal Izuki yang melirik Akiya. “Kelas satu. Ada apa?”
“Ahh, tidak…” tukas Tanaka. “Hanya saja dia sangat cantik. Heheheee… iya kan, Noya-san?”
Nishinoya menjawab dengan semangat berkobar-kobar, “Yeah, benar sekali. Sungguh menawan!!”
Izuki berbisik kepada Nishinoya dan Tanaka. “Kalau kalian ingin mendekatinya, sebaiknya menyerahlah dari sekarang. Mungkin dia memang terlihat menyenangkan, tapi dia adalah gadis paling menakutkan yang pernah ada.”
“Apa maksudnya, Izuki-san?” tanya Nishinoya.
“Kau akan mengerti kalau melihatnya sendiri,” tukas Izuki. “Tapi kalian juga memiliki manager yang lumayan.”
“Shimizu Kiyoko dan Yachi Hitoka!” timpal Tanaka.
“Tanaka! Kemari sebentar!” panggil Sawamura.
“Hai’!!” Tanaka langsung menghampiri sang kapten dan Azumane yang sedang berbincang dengan Hyuga dan Kiyoshi.
Di sudut yang lain, “Anoo, Kuroko-san! Bagaimana kau melakukan serve tadi? Aku benar-benar tidak bisa melihat bolanya!” seru Hinata pada Kuroko.
“Aku melakukannya dengan cara biasa,” kata Kuroko. “Spike-mu juga mengagumkan!”
“Tetapi, aku tak menyangka ada pemain voli sependek kau,” kata Kagami pada Hinata yang diikuti tawa tertahan dari Tsukishima.
“Apa kau, Tsukishima?!!!” seru Hinata. “Dari pada aku, Nishinoya-san lebih pendek!”
“Hinata!! Kau ingin dihajar?!!” teriak Nishinoya dari kejauhan.



Berulang kali aku tertawa melihat tingkah lucu teman-teman baruku ini. Mereka pun sebenarnya sangat mirip dengan Seirin. Semangat mereka benar-benar sama.
“Boleh aku bertanya sesuatu?” ucap Kageyama padaku.
“Tentu saja!”
“Sebenarnya apa yang akan kalian lakukan disini? Sepertinya, tujuan kalian bukanlah berlatih,”
“Memang benar, kami kemari memang tidak untuk berlatih, tapi untuk istirahat dari basket,”
“Lalu kenapa bermain voli?” tanya Kageyama lagi.
“Karena mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan itu menyenangkan,” jawabku. “Dan juga, tim voli Karasuno benar-benar menarik perhatianku.”
Kageyama tampak bingung, tapi sebelum dia sempat bertanya, aku langsung masuk ke dalam penginapan dan menuju kamarku. Sebelum masuk ke dalam kamar, aku melihat dua manager Karasuno sedang bersiap ke pemandian.
“Kau akan ke pemandian juga?” tanya Shimizu-san.
“Hai’,”
“Kalau begitu, kami duluan,”
“Silahkan!”
Aku mengambil handuk, dan perlengkapan mandiku lalu bergegas ke pemandian wanita. Sesampainya disana, aku hanya bersama Shimizu-san dan Yachi-san.
“Boleh aku bergabung?” tanyaku saat memasuki kolam air panas.
“Tentu saja!” jawab Yachi-san. “Rambut merahmu sangat indah, Akashi-san!”
“Terima kasih,” kataku. “Panggil saja Akiya!”
“Aku manager baru, mohon bimbingannya!” seru Yachi-san.
Aku tersenyum, “Aku juga baru beberapa bulan menjadi manager. Sebelumnya, Seirin tak punya manager karna tim ini baru berdiri selama dua tahun dan aku adalah manager pertama. Kalau bicara pengalaman, seharusnya Shimizu-san yang paling tahu.”
“Benar juga. Tolong ceritakan pengalamanmu bersama Karasuno, Shimizu-senpai!” seru Yachi-san.
Wajah Shimizu-san kelihatan memerah, bisa kurasakan bahwa dia sangat mencintai klub ini. Sepertinya, menjadi manager selama tiga tahun membuatnya memiliki banyak kenangan bersama klub ini. Aku pun terkenang beberapa moment menyenangkan yang kulakukan bersama member Seirin selama hampir empat bulan ini. Kami bertiga berbincang tentang hal-hal yang sudah kami lalui sebagai manager. Tak jarang kami saling menertawakan anggota sendiri. Acara berendam kali ini menjadi kegiatan gossip wanita.
Setelah selesai berganti pakaian, aku bergabung dengan yang lain di ruang makan yang luas. Semua sudah berbaur dan saling bercengkrama satu sama lain. Aku menuju ke tempat duduk yang kosong di samping Kuro-senpai dan Sugawara-san.
“Konbanwa!” sapaku.
“Konbanwa!” jawab Sugawara-san.
“Mau kuambilkan sesuatu?” tanya Kuro-senpai.
“Teh,” jawabku.
“Okey!”
Kuro-senpai langsung berdiri untuk mengambilkanku segelas teh, ketika sepiring kare diantarkan padaku oleh pemilik penginapan.
“Terima kasih,” kataku pada bibi pemilik penginapan.
Saat aku melihat sekeliling, baru aku merasakan bahwa ruangan ini sangat ramai. Biasanya, suasana di rumah sangatlah sepi saat makan malam karna aku dan kakakku tak pernah saling bicara saat di rumah. Rasanya, aku ingin malam ini tidak berakhir begitu cepat.
“Apa kami terlalu berisik?” tanya Sugawara-san yang melihatku terdiam.
“Tidak, justru aku merasa bahwa ini menyenangkan,” jawabku.
Kuro-senpai datang sambil membawa segelas teh. “Kau masih tak mau bicara dengan Akashi-kun?”
“Kenapa aku harus bicara dengannya?” tanyaku.
Baru aku akan memakan sesendok kare, ponsel di sakuku bergetar dan saat aku melihat siapa yang menelpon, aku kehilangan nafsu makanku. Kuro-senpai melirik ponselku dan melihat nama ‘Sei-nii’ menghiasi layarnya.
“Kau bisa keluar jika ingin mengangkatnya,” kata Kuro-senpai.
Aku menghela nafas sambil memegangi ponsel yang masih bergetar, kemudian melanjutkan makanku. “Aku tak ingin mengangkatnya.”
Akhirnya, dalam beberapa detik, ponselku berhenti bergetar dan aku kembali memasukkannya ke dalam saku. Kuro-senpai tetap memandangiku dengan khawatir.
“Tenang saja! Aku akan menghubunginya saat sudah kembali ke kamar,” kataku.
Wajah Kuro-senpai berubah tenang dan dia kembali ke makanannya. Aku tahu kalau keluarga tak seharusnya seperti ini, tapi aku dan Sei-nii tumbuh di lingkungan dimana orang-orang hanya menganggap kami sebagai seorang yang jenius. Tak terkecuali aku dan kakakku. Kami menganggap satu sama lain jenius, dan itu menjadi sebuah dinding penghalang bagi kami untuk berkomunikasi. Kakakku selalu tahu apa yang dia lakukan, sehingga dia tak pernah meminta saran dariku. Walaupun begitu, kami selalu sependapat tentang basket. Meskipun aku tak bisa bermain, dia tak pernah meragukan analisaku. Aku mengagumi permainannya, dia mengandalkan analisaku. Bisa dibilang, kami terhubung karna basket.
Namun, saat melihatnya terlalu dekat dengan basket, aku menjadi cemburu. Inilah titik awal aku mulai membenci basket dan kakakku. Tapi, sebenci apapun, Sei-nii tetap kakakku dan basket adalah olahraga yang menyatukan kami.
“Aki-chan!” panggil Kuro-senpai. “Kau tak apa?”
Aku mendongak dan kesadaranku kembali ke ruangan ramai ini. Di barisan sebelah kanan, terlihat Nishinoya-san dan Hinata-kun yang sedang menceritakan pengalaman mereka bermain voli kepada beberapa pemain Seirin. Sedangkan disisi kiri, Koganei-senpai bercerita tentang Kiseki no Sedai karna aku sempat mendengar nama kakakku disebut beberapa kali. Aku tersenyum merasakan suasana hangat yang sangat jarang kudapatkan.
“Aku tak apa,” jawabku lalu lanjut memakan kare di depanku.

***