Apa yang aku
lakukan? Untuk apa aku melakukan itu semua? Apa yang terjadi padaku? Benarkah
aku melakukannya karna aku peduli dengan tim ini? Ataukah hanya untuk
kesenanganku sendiri? Di samping itu, aku merasakan kepalaku mulai berat,
dadaku terasa sakit bahkan aku mulai kesulitan bernafas. Sudah kuduga, aku
terlalu banyak melakukan hal yang tak seharusnya kulakukan. Padahal aku hanya
memaksa tubuhku sedikit, tapi dampaknya sangat membuatku kesakitan.
Aku berjalan
sambil bersandar pada dinding, menyeret kakiku yang terasa berat. Aku lelah,
terlalu lelah bahkan untuk membuka mataku. Kamarku masih berada beberapa meter
lagi, namun aku sudah tak kuat menggerakkan kaki. Nafasku makin terasa sesak,
kepalaku sakit dan pandanganku mulai menghitam. Gawat, aku sudah tak kuat.
“Aki-chan,”
Seseorang
menangkapku tepat saat tubuhku terhuyung ke belakang. Walaupun aku tak bisa
melihat dengan jelas, tapi aku mengenali suara yang memanggil namaku tadi
adalah suara Kuro-senpai. Perlahan, aku kehilangan kesadaran.
Aroma alcohol
yang kuat memaksa kesadaranku kembali. Pemaksaan itu membuat kepalaku jauh
lebih pusing dari semula. Badanku sangat lemas, bahkan aku tak bisa
menggerakkan jari-jariku. Seluruh indraku sudah mulai pulih, jadi aku bisa
membuka mataku dan mendengar suara yang ada di sekitarku. Orang yang pertama
kali kulihat saat aku membuka mata adalah Kuro-senpai dengan wajah cemasnya
yang selalu dia pasang ketika bersamaku. Tapi di ruangan ini, tak hanya
Kuro-senpai tapi semuanya berkumpul disini.
Ketika aku sudah
bisa menggerakkan bola mataku, aku dapat melihat dengan jelas wajah-wajah
khawatir saat menatapku. Shimizu-san, Sugawara-san, Kagami-senpai, Hyuga-senpai,
pelatih Ukai, Tanaka-san, Hinata-kun, Izuki-senpai, Kiyoshi-senpai,
Kageyama-kun bahkan Tsukishima juga cemas walaupun tertutup oleh ketakutannya
padaku.
Tiba-tiba, sebuah
titik air mata menetes dari mata kananku. Aku menutupinya dengan tangan dan
dengan tarikan nafas yang dalam, berbulir-bulir air mata jatuh ke sisi kanan
dan kiriku. Kutahan setiap isakan dengan menggigit bibirku sendiri. Kuro-senpai
langsung menyadari bahwa aku sedang menangis.
“Kau ingin
mengatakan sesuatu?” tanyanya.
Mendengar suara
Kuro-senpai membuatku lebih terisak. Air mataku tak mau berhenti, isakanku tak
bisa kutahan lagi. Luapan emosiku melebihi yang bisa kubendung, aku marah, aku
kecewa, aku cemburu, aku menyesal, aku merasa tak berguna. Semua perasaan itu bercampur
dengan kenangan-kenangan yang menyakitkan sehingga menjadi pemicu untukku lebih
terisak. Aku menangis, melepaskan semuanya, berharap perasaanku akan membaik
setelah ini. Seisi ruangan menjadi sedikit tenang sehingga yang bisa terdengar
adalah suara isakanku yang semakin lama semakin keras.
“Ada apa, Akiya?”
tanya Kagami-senpai.
Aku tak menjawab
sambil terus menangis selama beberapa menit. Mereka pun menjadi lebih khawatir.
Yachi-san bahkan ikut meneteskan airmata. Disaat aku berada di puncak emosiku,
tiba-tiba muncul banyak kalimat yang ingin kuucapkan.
“Aku ingin
melakukannya!” seruku. “Aku ingin berlari, aku ingin melompat, aku ingin
menendang bola, aku ingin melakukannya sendiri bukan melihat dari jauh. Kenapa
aku dilahirkan dengan tubuh lemah ini? Kenapa aku tak bisa melakukannya dengan
tubuh ini? Melihat orang-orang penuh bakat seperti kalian membuatku iri. Iri
akan kebebasan kalian, iri akan kekuatan kalian, iri akan kkerja keras kalian,
iri akan semua yang bisa kalian lakukan sedangkan aku tak bisa melakukannya.
Aku tidak lumpuh, tapi kenapa aku tidak bisa berlari? Kedua tanganku berfungsi
dengan baik, tapi kenapa aku tak boleh memukul bola? Aku punya anggota tubuh
yang lengkap, tapi kenapa aku tidak bisa melakukan sesuatu dengan bebas? Nee, beritahu
aku! Bagaimana rasanya angin kencang yang menerpa wajah ketika kau berlari?
Bagaimana pemandangan dari atas saat kau melompat? Beritahu, tolong ceritakan
padaku! Aku ingin… aku ingin… aku ingin melakukan yang kalian lakukan!!”
Akhirnya
benar-benar kukeluarkan semua yang ada di pikiranku. Ahh tidak, aku
mengatakannya tanpa berpikir dulu. Kalau diingat-ingat, ini pertama kalinya aku
kalah dengan emosiku. Kira-kira kenapa aku bisa terlihat sangat menyedihkan
seperti ini? Ini tidak seperti diriku biasanya yang mengabaikan rasa cemburuku.
Padahal sebenarnya, bukan seperti ini yang kuharapkan. Ini diluar perkiraanku.
Ruangan membisu
selama hampir satu menit sampai akhirnya, Kuro-senpai mengatakan sesuatu. “Aku
juga iri. Banyak yang harusnya bisa kulakukan, tapi aku tak bisa melakukannya.
Aku ingin bisa melakukan dunk seperti
Kagami-kun, menembak tiga angka seperti Hyuga-senpai, melompat tinggi seperti
Hinata-kun, dan aku juga iri dengan kemampuan analisamu.”
“Benar!” seru
Hinata-kun. “Aku juga ingin bisa me-receive
dengan baik seperti Nishinoya-san, melakukan smash ace seperti Asahi-san, dan juga melakukan service ace seperti Kageyama!” Hinata
sedikit tersedak saat menyebutkan nama Kageyama.
“Aku ingin selincah
Nishinoya,” kata Hyuga-senpai.
“Aku juga ingin
bisa melompat tinggi!” seru Nishinoya-san.
“Akiya-san, aku
ingin sepertimu! Menjadi manager yang bisa mengatur tim dengan baik!” pekik
Yachi-san dengan wajah memerah karena malu.
Ruangan menjadi
sangat berisik dengan seruan-seruan ambisi yang beraneka ragam. Sebenarnya,
kecemburuanku tidaklah senaif kata-kata mereka. Ingin melompat, ingin melakukan
dunk, ingin melakukan smash, ingin menjadi ace. Itu bukan sesuatu yang sulit saat
kau bisa menggunakan tubuhmu dengan bebas tanpa harus khawatir akan pingsan
atau tersiksa karna sesak nafas. Aku sudah muak dengan tabung oksigen, jarum
suntik, obat dan kursi roda. Aku tak ingin menyentuh mereka lagi.
Saat melihat
kakakku kalah dari Kuro-senpai, aku tak bisa menahan diriku untuk kembali ke
Jepang. Kukira, aku bisa memperbaiki hubungan kami. Tapi ternyata, kembali
kesini membuatku makin cemburu dengan orang-orang ini. Meskipun kakakku berubah
dan tak keras kepala seperti dulu, namun dia jadi lebih mencintai basketnya. Dan
aku benci saat tak bisa menyukai sesuatu yang membuat kakakku senang. Semua
orang yang ada disini, mereka mencintai sesuatu yang tak bisa kusukai.
Setelah
tangisanku berhenti dan aku kembali tenang, aku membuka mata. Kemudian
menegakkan tubuhku, memandang sekeliling. Ruangan ini jadi seramai ruang makan
tadi. Jam dinding menunjukkan pukul 22.34 yang artinya aku sudah pingsan selama
hampir tiga jam. Kuro-senpai memandangku lalu tersenyum.
“Mau kuambilkan
sesuatu?” tanyanya.
Aku menggeleng.
Meskipun perasaanku belum membaik, tapi aku menghargai usaha mereka untuk
menghiburku, jadi aku membalas senyum Kuro-senpai dan memerhatikan mereka satu
persatu. “Terima kasih,” gumamku.
“Ano yo, Akiya!
Sebenarnya, menangis tak cocok untukmu,” kata Kagami-senpai. “I-itu karna kau
adiknya si Akashi dan kau sangat mirip jadi aku tak bisa menahan untuk tak
membayangkan kalau yang menangis adalah Akashi.”
Tawaku tersedak
dan aku menutupi bibirku dengan tangan agar tak terdengar keras. “Apa-apaan
itu?!”
“Kagami-kun, menurutku
ada yang salah dengan kepalamu,” timpal Kuro-senpai.
Keadaan menjadi
lebih hangat dan akhirnya aku bisa ngobrol seperti biasa. Yahh, walaupun
Tsukishima-kun masih terlihat takut denganku tapi dia sudah bisa bicara di
depanku. Sepertinya, dia juga khawatir saat aku pingsan tadi. Hampir tengah
malam dan aku memutuskan untuk kembali ke kamar.
“Aku akan
mengantarmu,” kata Kuro-senpai.
Kami berdua
keluar dari ruangan itu dan berjalan di koridor yang gelap. Suara-suara dari
ruangan yang kami tinggalkan masih bisa terdengar. Beberapa bunyi derak kayu
terkadang terdengar di sela-sela langkah kami di atas lantai kayu yang licin.
Setelah dirasa cukup tenang, Kuro-senpai memulai pembicaraan.
“Kenapa kau
menyuruh kami melakukan perjalanan ini?” tanya Kuro-senpai.
Kami berbelok ke
arah balkon. “Tidak ada alasan khusus. Tapi kalau senpai bertanya apa aku punya
rencana disini, jawabannya ada.”
Kuro-senpai
menatapku bingung.
“Dari awal aku
sudah tahu kalau Klub Voli Karasuno akan menginap disini. Mereka adalah tim
voli yang unik, terlebih lagi tim ini sangat mirip dengan Seirin tahun lalu.”
“Kageyama dan
Hinata?”
Aku tertawa. “Benar!
Tak hanya duo anak kelas satu, tapi juga kapten yang mengerikan saat marah,
Hyuga-senpai dan Sawamura-san, penyongkong tim yang sangat berbakat,
Nishinoya-san dan Kiyoshi-senpai dan juga penyegar suasana, Izuki-senpai dan
Sugawara-san.”
Kuro-senpai
tertawa dalam senyumannya. “Bagaimana kau tahu tentang mereka?”
“Aku tak harus
memberitahukan caraku mendapatkan data, kan? Cukup tahu saja kalau aku bisa
mendapatkan informasi yang bahkan tidak mungkin didapatkan seorang presiden
tentang apapun di dunia ini,”
“Kau cukup
sombong untuk orang yang meneriakkan kecemburuannya dengan lantang,” ucap
Kuro-senpai dan kami berdua tertawa bersama. “Kami memutuskan untuk bertanding
sesuai taruhan yang kau ajukan.”
“Baguslah! Jadi
aku tak perlu memaksa kalian lagi,” tukasku.
“Rencanamu
berjalan lancar?”
“Ini bahkan belum
masuk ke dalam rencana. Tapi, yahh, dengan begini, bisa dibilang rencana akan
berjalan baik. Meskipun tadi ada sedikit kesalahan,” jawabku.
“Kesalahan?”
Aku mengambil
nafas panjang, bermaksud untuk menjelaskan. “Aku dan kakakku memiliki kemampuan
untuk mengintimidasi orang, bahkan kakakku sudah mengembangkan kemampuan itu
dan akhirnya mendapatkan Emperor Eye. Mengintimidasi orang bukanlah kemampuan
yang bisa dilakukan seenaknya karna untuk menggunakannya membutuhkan energi
yang cukup banyak. Kakakku banyak menggunakannya dalam pertandingan, tapi itu
hanya sebagian kecil dari apa yang bisa dia lakukan. Keefektifannya pun hanya
bersifat sementara dan tertuju pada orang tertentu karna dia tak bisa
mengintimidasi seluruh orang di dalam lapangan.”
“Dan kau
menggunakannya untuk menantang Karasuno?” tanya Kuro-senpai.
“Benar! Karna
cara itu lebih efektif daripada harus menjelaskannya pelan-pelan. Berbeda
dengan kakakku, aku bisa mengintimidasi orang dengan energi yang lebih sedikit
dan skala yang lebih besar. Tapi, terjadi sesuatu yang diluar kendaliku.
Tsukishima-kun tidak memperhatikanku dari awal, sehingga dia tidak
terintimidasi. Makanya, aku membuatnya memperhatikanku, tapi jadinya aku malah
mengeluarkan terlalu banyak energi. Rasanya sama saat aku pingsan setelah
bertanding melawan Kiseki no Sedai,”
“Apa ini juga
hipnotis?”
“Bukan, ini bukan
hipnotis,” jawabku. “Bisa dikatakan, ini lebih sederhana daripada hipnotis. Kenapa
waktu itu aku menggunakan hipnotis? Karna jelas aku tidak bisa mengintimidasi
kakakku.”
Tiba-tiba,
Kuro-senpai mengusap kepalaku. “Jangan suka bertindak ceroboh seperti tadi! Kau
membuatku khawatir.” Dia memandangku dengan mata birunya yang gelap di bawah
hening malam dan cahaya bulan yang redup.
Melihatnya
membuat wajahku panas dan mungkin sudah terlihat memerah. Tapi aku menikmati
setiap dentuman jantung yang seakan hampir melompat dan meledak tepat di depan
wajahku. Perlahan bibirku membentuk sebuah lengkungan senyum yang sudah lama
tidak kulakukan. Aku membiarkan diriku merasa hidup tidak hanya dari detak
jantung yang sudah merajalela, tapi juga pipiku yang memanas, tubuhku yang terasa
hangat dan desah nafas yang bisa kudengar di sela-sela hembusan angin yang
menyibakkan rambut merah panjangku.
***